OPINI
Hibernasi dan Tarian Sekolah Menuju New Normal
Jika selama ini kemendikbud sudah mengintrodusir ukuran-ukuran SPAB fokus pada bencana alam, maka saatnya ini diperluas ke bencana nonalam.
Oleh: Setiawan Aswad
Pemerhati Pendidikan - ASN Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan
Setelah menjadi perdebatan yang panjang dari berbagai kalangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makariem akhirnya memberi jalan penyelesaian polemik pembukaan kembali sekolah pada masa pandemik covid-19.
Sebagaimana DKI Jakarta yang terlebih dahulu mengumumkan, akhirnya Tahun Ajaran Baru Pendidikan Dasar dan Menengah tetap akan diawali pada bulan Juni 2020.
Namun sekolah baru dibuka untuk aktivitas pembelajaran pada Januari 2012.
Tentu dengan prasyarat kelandaian kurva keterinfeksian Covid-19 dan angka reproduksi yang makin mendekati angka nol (Rt).
Hibernasi Sekolah
Sudah hampir 3 bulan peserta didik belajar dari rumah. Pada kondisi ini, praktis sekolah mengalami hibernasi - tidak ada aktivitas belajar mengajar yang melibatkan guru dan siswa secara tatap muka langsung di kelas.
• 3 Ribu Anak Masuk Kategori PDP Corona, Legislator DPR RI Jelaskan Kebijakan Belajar Jarak Jauh
Dalam perspektif epidemiologi, amukan Covid-19 yang menggila, harus dihadapi dengan cara mengurangi risiko keterjangkitan virus/Transmission (T), memperkecil persentuhan fisik dengan pembawa virus /Contact (C) dan memperkecil lama virus hidup pada manusia/Duration (D) melalui misalnya vaksinasi.
Sekolah sebagai simpul kerumunan manusia sangat berisiko terhadap ketertularan dan kontak fisik.
Jadi, guna menjaga keselamatan jiwa anak-anak kita, baik dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau tidak, penutupan sekolah memang menjadi keharusan.
PSBB yang menyebabkan hibernasi sekolah adalah varian pendekatan - meminjam istilah Tomas Pueyo (2020) - the hammer (palu).
Yaitu proses pemaksaan yang tegas dan intensif melalui berbagai instrumen kebijakan dan penegakan hukum yang ketat (law enforcement) guna melandaikan kurva keterinfeksian covid-19 yang cenderung mendaki tajam.
Biasanya, proses the hammer ini akan diikuti oleh kebijakan the dance (tarian) sebagai upaya adaptasi dan internalisasi menuju sebuah normal baru (a new normal).
Namun untuk memasuki tahapan “tarian” ini, titik kritis kelandaian kurva harus terlebih dahulu dilewati.
Sudahkah kelandaian kurva ini terlihat, terutama pada wilayah-wilayah yang tergolong zona merah dan kuning di Indonesia?