Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Kolom Klakson

Masjid dan Masker

Itu artinya, wabah Corona berperan signifikan dalam menurunkan income masjid setiap pekan. Urusan ini tak mampu dijawab hanya dengan rapid test.

Editor: Jumadi Mappanganro
Abdul Karim 

Oleh: Abdul Karim
Pegiat Demokrasi

Di sebuah masjid pada suatu Jum'at yang terang, jumlah masker jauh lebih banyak dibanding jamaah.

Dalam masjid berlantai keramik itu, jamaah berjarak semeter, bahkan lebih. Nyata spasi kekosongan. Nyata ada kekurangan di situ.

Tak ada desak-desakan seperti jumat biasanya. Tak ada lagi tumpukan jamaah yang berdiri di pintu masjid menanti waktu iqamah, seraya bersiap sedia meloncat menceburkan diri di shaf padat.

Semua berjarak. Jarak itu nyata.  Sementara kalangan anak-anak pun juga langka pada jumat itu.

Tak seperti biasanya sebelum ada wabah--mereka menguasai barisan paling belakang di masjid itu.

Pelajaran dari Amerika, Jangan Coba-coba Menjarah atau Mencuri iPhone, Lihat Akibatnya dari Apple

Saat khatib khutbah, mereka bercengkrama dengan bisingnya. Suara mereka bahkan kadangkala menutupi suara sang khatib di atas mimbar sana.

Tapi jumat siang itu, wajah-wajah mereka tak tampak. Barangkali mereka lock down pula.

Yang tak berubah hanyalah kotak amal yang terus berjalan lamban di depan jejeran shaf jamaah yang duduk bersila.

Kotak amal itu adalah salah satu saksi pokok bahwa jumatan pada masa wabah tak seberapa jemari menyentuhnya.

Itu artinya, wabah Corona berperan signifikan dalam menurunkan income masjid setiap pekan. Urusan ini tak mampu dijawab hanya dengan rapid test.

"Jamaah jumat yang kami hormati. Kita tak boleh bersedih dengan wabah ini, walaupun secara internal, kami pengurus masjid bersedih. Sebab memang kami pantas bersedih lantaran Pendapatan Asli Masjid (PAM) terus menyusut. Namun demikian, syukurnya karena belanja rutin masjid pun tak melonjak. Allah SWT benar-benar Maha Adil", kata ketua panitia pembangunan masjid sebelum ia menyodorkan mic dan menyilakan naik mimbar kepada sang khatib.

Lahirnya Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara

Sang khatib yang tak terlalu tua dan juga tak muda sekali tampil di mimbar ukiran Jepara itu dengan penuh wibawa.

Konon, menurut panitia masjid tadi--sang khatib bertitel doktor perguruan tinggi agama. Pantaslah lidahnya begitu fasih mendaras dalil-dalil.

"Corona adalah ujian bagi orang-orang beriman, bukan cobaan. Karena ia ujian, tentu kita segera naik level bila sukses melewatinya", kata sang khatib menyemangati jamaah.

Tetapi khatib bukanlah penjual obat yang setiap gerak bibirnya menakjubkan orang-orang.

Khatib bukanlah tukang sulap yang gerak tangannya selalu menjadi titik fokus orang-orang di hadapannya.

Jamaah siang itu justeru tak memandang ke arah sang khatib. Sebagian hanya duduk memandangi lantai masjid.

Sebagian yang lain malah terkantuk-kantuk. Meski begitu, sang khatib tetap menyebut jamaah sebagai orang bertaqwa.

4 Juni, Pasien Covid di Sulsel Tambah 54, dari Makassar 43 Orang

"Yang hadir pada kesempatan ini adalah golongan orang-orang yang bertaqwa. Kita hanya wajib takut pada Allah, bukan pada wabah", kata sang khatib.

Tampaknya Sang khatib lupa, bahwa taqwa bukan soal ketakutan dan menakut-nakuti. Tetapi taqwa adalah soal mutu keimanan.

Ia juga mengutarakan bagaimana Corona melahirkan kejanggalan; pasar dan mal tak ditutup, namun masjid dianjurkan dikunci.

Terdengar irama cemburu pada ujaran itu. Ibadah dibatasi, belanja dibiarkan.

Khatib cerdas ini lupa bahwa masjid adalah tempat suci. Ia tak boleh kotor oleh wabah. Ia harus bersih dari virus.

Membandingkannya dengan mal dan pasar sungguh juga sebuah kejanggalan berfikir.

Apalagi, mal dan pasar menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok--termasuk masker. Sementara masjid menyediakan tempat wudhu untuk ibadah.

Artinya, pasar menyajikan bahan energi untuk tubuh, masjid menyediakan bahan energi untuk ruh.

Full Online, Penerimaan Peserta Didik Baru Kota Makassar Dimulai 22 Juni

Bagi pasar untuk kekuatan jasmaniah, bagi masjid untuk kekuatan ruhaniah. Jadi, tak usah mempertentangkan keduanya.

Barangkali sang khatib prihatin, sebab iklan masker lebih menggoda dibanding panggilan bersalat yang berkumandang di menara masjid.

Lalu, cemooh sunyi terdengar di sudut masjid; "kelak, masker jauh lebih banyak jumlahnya masuk surga dibanding ummat".

Begitulah jumat ditengah pendemi covid 19 yang tak pasti akhirnya.

Tampaknya wabah ini terlanjur memperhadapkan dua hal yang tak seharusnya berjumpa; "masker dan masjid".

Keduanya punya masa lalu dan masa depan. Semoga masa depan masjid bukan masa depan masker atau semoga masa depan masker bukan masa depan masjid. (*)

Artikel di atas telah terbit di Kolom Klakson halaman Tribun Opini koran Tribun Timur edisi cetak, Rabu 4 Juni 2020.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved