Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Berdamai bukan Bersantai dengan Covid-19

Dh Farid W. Husain, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Pernah bekerja sebagai Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kemenkes RI

Editor: Jumadi Mappanganro
TRIBUN TIMUR/EDI SUMARDI
Farid W Husain (kanan) dan Syamsu Rizal MI 

Oleh Farid W. Husain
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Pernah bekerja sebagai Direktur Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan RI

Tagar Indonesia Terserah di media sosial yang dibagikan oleh para tenaga medis ramai diperbincangkan publik. Seorang tenaga medis yang tengah bersiaga bertugas, diabadikan dalam foto dengan kedua tangan menunjukkan selebaran bertuliskan Indonesia Terserah.

Ini merupakan ungkapan keprihatinan terhadap kenyataan di tengah masyarakat yaitu ketidakjelasan dan ketidaktegasan dalam penegakan disiplin memutus rantai penyebaran Covid-19.

Tagar Indonesia Terserah sebagai sebuah kritik sosial, menurut Sosiolog Imam Prasodjo, ditujukan kepada tiga pilar utama penanganan Covid-19. Pertama, pemerintah, yang dalam beberapa kebijakannya tampak tidak tegas.

Misalnya di satu sisi melarang mudik, namun pada saat yang sama, instansi berwewenang justru membuka jalur transportasi yang kontradiktif dengan larangan mudik.

Covid-19 dan Teori Masyarakat Risiko

Kedua, sektor bisnis yang didorong oleh tekanan ekonomi domestik dan global, mencari cara untuk survive (dalam istilah Imam Prasodjo: tidak mau rugi) dengan cara yang dapat mengorbankan disiplin penanganan Covid-19.

Ketiga, kultur masyarakat sendiri yang masih sering permisif terhadap berbagai aturan. Apa yang membuat kritik sosial ini terlihat istimewa ialah karena ia disampaikan oleh para tenaga medis.

Mereka memiliki kredensi untuk mengungkapkannya. Pengorbanan para tenaga medis ini memang didukung oleh data.

Menurut Persatuan Perawat Nasonal Indonesia (PPNI), jumlah perawat Indonesia yang meninggal dunia telah mencapai 20 orang.

Ini merupakan jumlah yang cukup tinggi secara rasio, yaitu 6,5 persen dari total kematian yang diakibatkan Covid-19 di Indonesia.

Padahal secara rata-rata global kematian tenaga medis berada di rasio 0,3 persen.

Lebih jauh, saat ini terdapat sebanyak 59 perawat yang dinyatakan positif Covid-19, 68 perawat tengah dirawat, 685 perawat dengan status ODP, dan sebanyak 116 perawat dengan status OTG.

Data ini menunjukkan betapa rawannya keadaan yang dihadapi oleh tenaga medis dan karena itu patut mereka mengungkapkan kekhawatiran.

Dari Perang Menuju Damai

Munculnya kritik sosial Indonesia Terserah tidak terlepas dari adanya kesan pergeseran kebijakan pemerintah dari ‘berperang’ melawan Covid-19 menjadi berdamai dengan Covid-19.

Belum adanya komunikasi yang memadai dalam menjelaskan perubahan tersebut mendatangkan interpretasi yang berbeda-beda.

Sebagian menginterpretasikan hal itu sebagai upaya pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Covid-19 dan Interupsi Alam Terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan Indonesia

Karena itu banyak dari anggota masyarakat memandangnya sebagai sinyal untuk dapat lebih santai.

Pergeseran kebijakan ini tidak dapat dilepaskan dari adanya tekanan ekonomi yang juga harus ditangani.

Dalam skenario berat perekonomian diperkirakan hanya bisa tumbuh 0,4 persen. Jumlah pengangguran diperkirakan bisa bertambah 5,23 juta dalam skenario yang lebih berat.

Pandemi Covid-19 dengan demikian memasuki dimensi krisis ekonomi daripada sekadar dimensi krisis kesehatan publik. Keseimbangan kepentingan kesehatan dan kepentingan ekonomi harus dikelola dengan cermat.

Damai Tidak Santai

Studi terbaru (30 April 2020) dari Center for Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP) University of Minnesota tampaknya dapat menjadi rujukan otoritas maupun publik.

Menurut studi yang berjudul The Future of the Covid-19 Pandemic: Lessons from Pandemic Influenza itu, wabah COVID-19 masih memerlukan waktu yang cukup panjang untuk ditangani dan bahkan belum ada tanda bahwa ia akan dapat sepenuhnya lenyap.

Tribuners Peduli Tim Medis dan Warga Terdampak Covid-19

Studi itu mengatakan diperlukan waktu 18 hingga 24 bulan untuk tetap siaga menyiapkan langkah-langkah mitigasi darurat karena dalam rentang waktu itu, masih ada kemungkinan merebaknya secara tiba-tiba wabah ini.

Ada tiga skenario yang disuguhkan dalam menggambarkan pola berjangkitnya wabah itu di masa depan.

Skenario pertama, gelombang pertama Covid-19 terjadi pada musim semi 2020 diikuti oleh serangkaian gelombang kecil yang berulang yang terjadi selama musim panas dan kemudian secara konsisten selama periode satu hingga dua tahun ke depan.

Wabah ini, menurut studi itu, secara bertahap baru berkurang sekitar tahun 2021.

Terjadinya gelombang ini dapat bervariasi secara geografis dan tergantung pada langkah-langkah mitigasi yang sudah ada dan bagaimana kebijakan tersebut dilonggarkan.

Artinya, skenario ini membutuhkan pemulihan dan relaksasi secara berkala dengan antisipasi tindakan mitigasi dalam satu hingga dua tahun berikutnya.

Skenario kedua, gelombang pertama Covid-19 pada musim semi 2020 diikuti oleh gelombang yang lebih besar di musim gugur atau musim dingin tahun 2020 dan satu atau lebih gelombang berikutnya yang lebih kecil terjadi pada tahun 2021.

Ini Daftar Nama-nama 77 Perwira Tinggi Polri Naik Pangkat dari Kombes ke Jenderal Bintang 1, 2 dan 3

Setelah pelonggaran, pola ini akan membutuhkan langkah-langkah mitigasi berikutnya pada musim gugur dalam upaya untuk menurunkan penyebaran infeksi dan mencegah sistem perawatan kesehatan kewalahan.

Skenario ketiga, gelombang pertama COVID-19 pada musim semi 2020 diikuti oleh ‘pemusnahan secara lambat’ yang berkelanjutan, tetapi tanpa pola gelombang yang jelas.

Sama seperti pada skenario kedua, pola ini mungkin agak berbeda secara geografis dan dapat dipengaruhi oleh tingkat tindakan mitigasi di berbagai bidang.

Apa pun skenario yang terjadi studi CIDRAP dengan jelas menunjukkan bahwa Covid-19 belum akan lenyap sebagai masalah kesehatan selama 18 hingga 24 bulan mendatang.

Tetap diperlukan langkah-langkah mitigasi yang signifikan, dengan titik-titik lokasi penularan yang bermunculkan secara berkala di berbagai wilayah geografis.

Bagi negara seperti Indonesia yang menghadapi tekanan ekonomi yang besar bersamaan dengan krisis kesehatan publik, ini merupakan kenyataan berat.

Tampaknya arah yang ditempuh adalah menetapkan kebijakan berdamai dengan Covid-19  ketimbang melanjutkan perang.

Lonjakan pengangguran, berhentinya sebagian besar sektor usaha, bertambahnya jumlah kemiskinan mau tak mau memaksa otoritas untuk menggerakkan kembali roda perekonomian.

Rekomendasi Kebijakan

Menghadapi kenyataan pelik ini, tantangan terbesar dewasa ini adalah menyadarkan sekaligus meraih kepercayaan publik untuk secara bersama-sama menyatukan langkah menghadapi kenyataan-kenyataan baru pandemi Covid-19.

Diperlukan komunikasi persuasif namun jujur tentang skenario yang mungkin berlangsung, termasuk skenario terburuk.

Pergeseran kebijakan dari ‘perang’ menjadi ‘berdamai’ seyogyanya tetap diikuti oleh pengutamaan perlindungan terhadap kesehatan publik, terutama kepada tenaga medis yang berada di front terdepan.

Buku Tau, Manusia Bugis: 5 Kategori Sanro atau Dukun yang Dikenal Orang Bugis

Kritik sosial dari tenaga medis berupa sindiran Indonesia Terserah tidak dapat dianggap enteng karena dapat bertransformasi menjadi apatisme profesional yang berlanjut kepada apatisme publik.

Komunikasi yang menimbulkan persepsi adanya pelonggaran standar protokol penanganan Covid-19 hendaknya dihindari.

Keseriusan upaya otoritas dalam menegakkan disiplin harus tercermin dalam semua lini komunikasi.

Jaminan perlindungan terhadap petugas kesehatan sangat penting dan hal ini hendaknya menjadi bagian komunikasi utama pemerintah yang disampaikan secara jelas.

Otoritas di bidang kesehatan semestinya lebih sering tampak di hadapan publik. 

Komunikasi dengan publik seyogyanya juga meliputi penekanan bahwa penanganan COVID-19 merupakan perjalanan panjang –daripada perang berjangka pendek seperti keyakinan selama ini.

Sebagai sebuah perjalanan berjangka panjang, publik perlu diyakinkan bahwa otoritas pengambil kebijakan telah memiliki rencana konkret.

Dalam setiap perubahan kebijakan, hendaknya selalu diikuti oleh kesiap-siagaan otoritas menyiapkan langkah-langkah mitigasi manakala penularan Covid-19 meningkat atau memuncak pada saat-saat tertentu pada masa mendatang.

Dengan demikian berdamai dengan Covid-19 bukan berarti bersantai dengan Covid-19. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved