Pencetakan Uang vs Pelonggaran Moneter Masa Covid-19
BI mau tidak mau akan terus melanjutkan kebijakan QE tersebut, tentu selama dianggap masih kondunsif dilaksanakan.
Oleh: Marsuki
(Guru Besar FEB Unhas dan Chief Economist BNI WMK)
Berita viral di ranah publik akhir-akhir ini mengenai perlunya pencetakan uang (MP) Rp 600 triliun untuk menghadapi wabah Covid-19. Usulan disampaikan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI karena pertimbangan, pemerintah mengalami kesulitan keuangan, sehingga diharapkan Bank Indonesia (BI) dapat mencetak uang sejumlah tersebut.
Opsi kebijakan mencetak uang dimaksudkan menopang keuangan pemerintah guna pembiayaan darurat dan mendesak. Dalam situasi dunia secara global diserang wabah Covid-19, perekonomian global melambat. Sehingga dalam kondisi seperti itu jelas tidak mudah mencari sumber-sumber pembiayaan, baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Meskipun dengan menerbitkan surat utang negara termasuk global bond misalnya dengan bunga tinggi. Sepintas, usulan tersebut bisa diterima akal masyarakat umum, tapi bagi masyarakat yang paham tentang urusan pencetakan uang, hal tersebut tidak mudah diterima. Maka mungkin agar tidak menimbulkan polemik berkepanjangan, BI menyampaikan kekurang-setujuannya menempuh kebijakan tersebut (MP), dengan berbagai alasan logis berbasis teknikal keilmuan, karena dianggap kebijakan tersebut justru akan dapat mengacaukan kondisi perekonomian yang sedang bermasalah.
BI menganggap, kebijakan yang tepat dalam situasi seperti ini adalah kebijakan dengan mekanisme pelonggaran moneter atau quantitative easing (QE). Oleh karena itu menarik membahas secara ringkas tentang kedua kebijakan Bank Sentral tersebut
Kebijakan pencetakan uang adalah kebijakan yang dapat dilakukan Bank Sentral suatu negara karena alasan penting, baik dalam situasi normal atau tidak normal. Dalam situasi normal, bank sentral mempunyai tanggungjawab mencetak uang secara regular atas nama kepentingan negara guna memenuhi kewajiban negara kepada rakyatnya untuk menyediakan sejumlah uang sesuai kebutuhan dalam rangka melancarkan berbagai keperluan rakyat agar bisa hidup sejahtera. Sedangkan dalam situasi tidak normal, posisi bank sentral bisa dianggap sebagai bagian dari pemerintah, sehingga bank sentral dapat menjadi instrumen pemerintah merealisasikan rencana atau kebijakan yang akan dilaksanakannya.
Tapi itupun dengan syarat, jika pemerintah betul sedang mengalami kesulitan keuangan akut, akibat berbagai krisis yang terjadi sehingga tidak mempunyai sumber pembiayaan yang cukup membiayai pengeluaran yang diperlukan. Dalam kasus terakhir, Indonesia pernah mengalami keadaan seperti itu selama periode sebelum Reformasi 1997/1998.
Saat itu, Bank Sentral Indonesia (BI) statusnya sebagai salah satu anggota dewan moneter yg dibentuk pemerintah. Akibat krisis yang semakin berat pada krisis keuangan 98', BI akhirnya didesak secara politik untuk mengatasi krisis dengan cara mencetak uang dalam jumlah besar, sekitar Rp 400 triliun dengan membeli atau dengan jaminan Surat Utang Negara berbunga hampir 0 persen, dan tidak dapat dijual belikan.
Tujuannya untuk mendukung sektor perbankan agar tidak mengalami krisis likuiditas akibat ‘rush’ dana oleh masyarakat. Tapi ternyata dalam praktiknya banyak penyimpangan. Akibatnya justru krisis semakin parah, angka inflasi mencapai hampir 70%. Nilai tukar jatuh mencapai kisaran Rp 17 ribu/US$, sehingga berlanjut pada krisis politik yang melengserkan rezim Orba yang telah berkuasa 32 tahun.
Mungkin atas pertimbangan tersebut, BI tidak ingin mengulang peristiwa pahit tersebut, sehingga mengambil keputusan untuk tidak melaksanakan usulan kebijakan pencetakan uang tersebut karena penuh risiko. Apalagi kondisi negara sedang mengalami masalah berat, akibat krisis kemanusiaan wabah Covid-19 yang telah banyak memakan korban.
Sehingga BI lebih memilih tradisi kebijakan moneter konvensional dengan sedikit modifikasi yang bersifat dinamis yang dikenal dengan bauran kebijakan atau mix monetary policy, QE, melalui pemanfaatan mekanisme instrumen kebijakan moneter tidak langsung. Seperti pengaturan Giro Wajib Minimum (GWM), kebijakan pasar terbuka (OMO), kebijakan suku bunga acuan 7-Days Repo, dan kebijakan dorongan moral (Moral suassion).
BI pada dasarnya sudah dan sedang melakukan kebijakan QE dari Januari-April 2020 sejumlah Rp386 triliun dengan cara BI membeli SBN di pasar sekunder yang dijual asing. BI juga melaksanakan kebijakan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) sebesar 200 bps pada 13 dan 14 April, sehingga dapat menambah likuiditas perbankan mencapai Rp117,8 triliun.
Selain itu BI melaksanakan relaksasi Rasio Intermedisi Makroprudensial (RIM) yang berlaku 1 tahun sejak 1 Mei. Dilanjutkan penurunan GWM rupiah dan Swap Valas. Masing-masing telah menambah likuiditas perbankan sebesar Rp15.8 triliun, Rp53 triliun dan Rp 29.7 triliun. Disusul kembali penurunan GWM 2% pada awal Mei 2020, maka semakin menambah likuiditas perbankan sebesar Rp102 triliun. Sehingga diperkirakan hingga kini, total kebijakan BI dengan QE sudah mencapai Rp 503,8 triliun.
Dapat dikatakan bahwa kebijakan BI melalui mekanisme QE dimaksudkan utamanya menjaga likuiditas perbankan yang dianggap harus selalu tersedia agar perbankan dapat tetap menyalurkan kreditnya membiayai kebutuhan sektor riil yang sudah banyak terdampak wabah Covid-19. Hal agar kondisi perekonomian dan keuangan nasional tidak semakin bermasalah. Tapi, dalam praktiknya banyak perbankan ternyata belum aktif menyalurkan dana kreditnya dari likuiditas yang dimiliki, sesuai harapan otoritas. Baik karena alasan perilaku kehati-hatian perbankan yang tinggi, juga memang karena permintaan kredit para pelaku ekonomi sedang lesu, akibat berbagai persoalan yang dihadapi mereka, baik karena shock permintaan maupun shock penawaran. Sehingga sektor perbankan banyak hanya menyalurkan kredit yang sudah disetujui sebelum covid19. Namun bagaimanapun, seharusnya perbankan tidak perlu terlalu bersikap seperti itu. Terutama perbankan pelat merah, karena justru perbankan tersebut harus menjadi garda terdepan bersama para otoritas sektor keuangan terkait untuk merealisasikan program dan rencana kebijakan yg sudah disusun dengan baik oleh KKSK, yang melibatkan Kemenkeu, BI, OJK dan LPS, demi kepentingan bersama dalam rangka pemulihan ekonomi nasional yang sedang bermasalah.
Tapi masalahnya, seandainya belum ada kejelasan waktu berakhirnya wabah Covid-19, maka kebijakan BI dengan mekanisme QE saat ini tampaknya masih belum mencukupi untuk menggerakan apalagi memulihkan ekonomi yang masih lesu. Sehingga BI mau tidak mau akan terus melanjutkan kebijakan QE tersebut, tentu selama dianggap masih kondunsif dilaksanakan. Namun jika ingin lebih menjamin, maka tampaknya diperlukan mekanisme kebijakan moneter BI yang lain yang bersifat ekstraordiner yang dapat dilakukan bersamaan, namun tentu harus berhati-hati dan dapat dipertanggungjawabkan. Diantaranya dengan mengefektifkan kebijakan triple intervention ke tiga di pasar uang dan modal, dimana BI dapat melakukan pembelian SBN diantaranya di pasar primer: