Opini Aswar Hasan
Pemerintah Tertutup, Parlemen Tidak Peka
Penulis adalah mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Sulsel. Dosen Departemen Komunikasi Unhas. Ssaat ini sebagai Komisioner KPI Pusat.
Oleh: Aswar Hasan
Penulis adalah mantan Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Sulsel. Dosen Departemen Komunikasi Unhas. Ssaat ini sebagai Komisioner KPI Pusat.
SEJAK tahun 2008 Pemerintah RI secara resmi menyatakan diri harus terbuka. Hal itu diwujudkan dalam bentuk mensahkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik No.14 Tahun 2008.
Terhadap setiap badan publik (termasuk Parlemen) yang terkena kewajiban terbuka sesuai amanat Undang- Undang tersebut, diberi kesempatan mempersiapkan diri untuk penyesuaian keterbukaan selama 10 tahun (hingga 2018).
Dengan demikian, hingga kini tidak boleh lagi ada alasan bagi lembaga publik di republik ini untuk tidak terbuka.
Akan tetapi, dalam kenyataanya, badan publik negara (Pemerintah) yang diberi tanggungjawab menyusun RUU Omnibus Law justru mempraktikkan ketertutupan.
Ketertutupan pemerintah tersebut, dikeluhkan bebagai pihak, dan ramai diberitakan.
• Paramedis Toraja Utara Ikuti Simulasi Penanganan Pasien Covid-19
Praktik ketertutupan informasi publik dari akses publik sebagai bentuk partisipasi, adalah wujud pengingkaran hak asasi dan pencederaan demokrasi.
Olehnya itu, DPR RI sebagai pilar demokrasi harus mewujudkan keterbukaan dalam membahas RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah diserahkan oleh pemerintah.
Betapa tidak, karena informasi terkait RUU tersebut, ibarat aliran darah dalam tubuh. Aliran informasi publik di tubuh badan publik adalah laksana aliran darah dalam sistem organ manusia.
Jika aliran darah itu tersumbat, maka akan berakibat fatal bagi organisme tubuh itu sendiri (bisa menyebabkan struk dan gagal jantung).
Melancarkan arus informasi dalam sistem benegara, sungguh sangat penting, khususnya dalam merawat demokrasi dalam negara bersangkutan.
Pengacara legendaris Amerika Serikat, Louis Brandeis, berkata; "Sunshine is the best disinfectant." Sinar matahari adalah pembasmi kuman yang paling efektif.
Kata kiasan ini dimaksudkan, bahwa jika sinar matahari diibaratkan sebagai keterbukaan atau transparansi maka kuman yang laksana pelaku koruptor itu, akan terbasmi secara efektif.
Betapa tidak, karena praktik korupsi kerap terjadi di "ruang gelap" tanpa terlihat oleh orang lain atau anggota masyarakat (publik).
• Diseminasi Komunikasi Birokrasi
Karena itu, sinar matahari yang disimbolkan sebagai keterbukaan, menjadi urgen (penting dan mendesak) untuk mencegah terjadinya praktik korupsi atau kongkalikong.
Toby Mendel (2003) sebagai tokoh penggiat tranparansi, telah menegaskan bahwa kebebasan memperoleh informasi merupakan Hak Asasi Manusia yang dilindungi undang- undang.
Hak atas kebebasan informasi, dan khususnya hak untuk mengakses informasi dipegang oleh otoritasi publik.
Menguji Demokrasi di DPR RI
DPR adalah rumah dalam berdemokrasi. Sementara itu, keterbukaan adalah nafas dalam berdemokrasi. Tanpa keterbukaan, demokrasi akan sumpek dan menyesakkan.
Karena itu, DPR harus membuktikan prinsip asalinya, selaras komitmen dengan Ketua DPR RI Puan Maharani untuk terbuka, ketika menerima RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Jaminan pernyataan Ketua DPR tersebut, harus bisa di buktikan ke depan, selama masa pembahasan RUU yang telah dimasalahkan oleh publik ketika dibuat rancangannya oleh pemerintah.
Untuk mewujudkan komitmen keterbukaan tersebut PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang telah ada di DPR RI sesuai Tupoksi yang diamanatkan oleh UU KI No.14 tahun 2018 harus benar berfungsi dan difungsikan dalam memberi layanan Informasi publik yang menjadi hak dan kebutuhan publik.
Khususnya pada pasal 3 huruf a, b dan c bahwa publik berhak berpartisipasi untuk mengakses informasi publik pada saat proses pembuatan dan implementasi sebuah kebijakan.
Di samping itu, juga harus melaksanakan amanah UU No.15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pada pasal 5 yang mengatur asas keterbukaan dalam proses legislasi.
Hal ini menjadi wajib demi menghindari terjadinya kemunafikan demokrasi di rumah demokrasi.
• 23 WNA India Dikarantina di Gowa, 1 Dirujuk ke Rumah Sakit
DPR RI adalah rumah terakhir bagi rakyat untuk menyaksikan masih adakah demokrasi di negeri ini. Jujur, penulis mencemaskan praktik demokrasi yang amanah di DPR-RI saat ini.
Betapa tidak, karena komposisi kekuatan politik di DPR RI saat ini didominasi oleh kekuatan politik pemerintah ( 81%).
Sementara kita sudah sama tahu bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang telah digodok oleh pemerintah, dikerjakan secara tertutup.
Sayangnya, di tengah bangsa lagi fokus melawan Covid-19.
Diharap agar menunda agenda lainnya, DPR RI yang sedari awal diingatkan untuk kontrol dan awasi pemerintah kendalikan virus Corona, malah mengagendakan mengesahkan UU Omnibus law yang sedari awal minta ditunda.
Terkesan, DRPR RI curi kesempatan dan tidak peka. Ini sungguh menyedihkan! (*)