Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pilkada Jangan Bercermin Retak

Dinamika yang mengiringi pelaksanaan Pileg dan Pilpres lalu, cukup memiriskan hati.

Editor: syakin
ari
Komisioner Bawaslu Gowa Divisi Pengawasan, Juanto Avol. 

Bagaimana mungkin prilaku politik uang bisa disebut sebagai "kebudayaan?" Sementara politik uang merupakan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dan agama.

Misalnya dalam aturan konstitusi kita, tentang larangan Politik Uang, diatur di Undang-Undang Pilkada No. 10 tahun 2016, Pasal 73, pasal 187A, 187B, 187C dan 187D. Sanksi pidananya tidak main-main. Paling singkat 36 (tigapuluh enam) bulan, maksimal 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit 200.000.000 (dua ratus juta) dan paling banyak 1.000.000.000 (satu miliar).

Hal sama dalam ajaran agama, begitu banyak dalil-dalil menerangkan tentang larangan sogok-menyogok.

Norma aturan tersebut, selaiknya dimaknai sebagai sinyal kuat bahwa negara sedang serius melarangnya. Betapa tidak, dalam pasal 187A, sanksi pidana yang sama diberikan kepada yang memberi dan yang menerima, sebagai dampak hukum atas praktek culas politik uang.

Praktik politik uang menyebabkan disorientasi nilai, akan berimplementasi buruknya pelayanan pada rakyat ditingkat lokal. Kebijakan-kebijakan yang lahir oleh pengampuh keputusan (pemimpin) berasal dari praktik politik uang, justru akan bertumpu pada kepentingan pribadi, memperkaya diri, kelompok dan golongan tertentu.

Rakyat hanya dijadikan objek, haknya tergadaikan. Sehingga aspirasi yang mereka dorong dan perjuangkan pada pemangku kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup, semakin lemah tak terealisasi. Begitu juga, kelak para aktor jika terpilih, akan malas menunaikan janjinya, dikarenakan politik transaksional telah mendegradasi norma sosial.

Diakhir tulisan ini, izinkan penulis menorehkan kata; "Pilkada jangan berkaca di cermin yang retak". Sebuah narasi tegas, menolak politik uang dikonotasikan sebagai ‘kebudayaan’.

Sungguh politik uang bukanlah nilai luhur nan agung yang harus dipertahankan, dia adalah tindakan buruk yang terus-menerus terulang dan mesti diluruskan. Sebab perilaku itu bertentangan dengan norma sosial, merusak harkat martabat dan nilai integritas.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved