Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pilkada Jangan Bercermin Retak

Dinamika yang mengiringi pelaksanaan Pileg dan Pilpres lalu, cukup memiriskan hati.

Editor: syakin
ari
Komisioner Bawaslu Gowa Divisi Pengawasan, Juanto Avol. 

Oleh: Juanto
(Komisioner Bawaslu Gowa, Divisi Pengawasan)

Dinamika yang mengiringi pelaksanaan Pileg dan Pilpres lalu, cukup memiriskan hati. Bagaimana tidak, tahapan Pemilu yang semakin hari semakin dekat kala itu diwarnai pergerakan para aktor yang menampilkan praktik ‘politik identitas’ yang kurang elok.

Mereka justeru saling mencela, bukan saling berdebat kritis melahirkan ide, gagasan serta narasi konstruktif demi kemaslahatan rakyat, tetapi sibuk membangun kekuatan dengan berbagai cara. Citra politik demikian mencerminkan teori politik Niccollo Machiavelli, yaitu bagaimana meraih kekuasaan dengan cara apapun.

Jika dicermati, apa yang terjadi di Pilgub DKI 2017, Pileg dan Pilpres 2019 adalah praktek ‘politik identitas’ yang sama sekali bertentangan dengan akal sehat (iman) kita. Sejatinya instrumen-instrumen politik seperti itu tidak diukur dari seberapa mampu mereka meraih suara terbanyak, lalu terpilihnya gubernur, legislator, presiden dan wakil presiden untuk lima tahun mendatang.

Kualitasnya mesti dilihat dari apakah aktor di Pemilu itu mampu memberikan pendidikan politik (education) dan wawasan demokrasi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat atau justeru sebaliknya.

Kini, standar ukuran mutu Pemilu, bisa dilihat dengan program-program keberpihakan pemimpin terhadap hak hidup rakyat. Suksesnya rakyat memilih pemimpin sebagai representasi (aspirasi) harapan rakyat untuk mendapatkan hidup layak, fasilitas pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, infrastruktur memadai, arah pembangunan konservatife dan hak-hak dasar civil society sebagai warga negara.

Kehadiran elite politik sebagai aktor di tampuk kekuasaan, sejatinya terus berperan mendorongnya dan mengedukasi rakyat. Pada tahun politik ini, dalam konteks Sulawesi Selatan, ada 12 daerah yang serentak akan berpilkada: Kabupaten Barru, Bulukumba, Gowa, Kepulauan Selayar, Luwu Timur, Luwu Utara, Maros, Pangkajene Kepulauan, Soppeng, Tana Toraja, Toraja Utara, dan Kota Makassar.

Untuk mencapai pilkada berkualitas mendatang, maka dibutuhkan partisipasi rakyat sebagai elemen penting mengingatkan para aktor elit politik di Sulawesi Selatan, agar mulai mempraktikkan politik akal sehat, dan belajar dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya.

Pilkada serentak September 2020, bisa dimaknai mendorong perwujudan ‘political will’ lahirnya pemimpin berkualitas yang visi misi-nya berorientasi pada kesejahteraan di ruang lingkup masyarakat.

Politisi di tingkat lokal harus memberikan contoh yang baik dalam prakteknya, sebab bila contoh negatif ditampilkan, rakyat dibawah pun akan menirunya dalam kehidupan sosial yang mereka lakoni.

Politik uang (money politik) misalnya, sering dipertontonkan oknum politik kita dalam pemilihan kepala daerah, ternyata ditiru rakyat bawah dalam pemilihan kepala desa. Pemilihan kepala desa pada beberapa wilayah di Sulawesi Selatan, sarat dijalankan dengan praktik politik uang oleh kandidat tertentu, itu adalah prilaku buruk yang akan berdampak negatif, mengarah pada disorientasi nilai. Dalam konteks demokrasi, itu tidaklah sehat.

Demokrasi sehat adalah praktik politik yang sesuai nalar positif manusia, bukan sebaliknya. Prilaku politik uang, saling mencela, caci maki, politisasi SARA atau mencitrakan diri secara berlebihan, sama sekali tak ter-kategori-kan pikiran sehat manusia, dan hanya menjadi ‘politik identitas’ buruk bagi warga. Instrumen demikian akan mengebiri demokrasi ditingkat lokal, mengeringkan nilai-nilai kebudayaan masyarakat sipil.

Karena itu, memperaktikkan atau mengembangkan politik sehat, sangat penting ditunaikan agar kualitas demokrasi benar-benar terbangun, memberi makna bagi seluruh warga dan komponen masyarakat luas.

Money Politik

Tentang politik uang, kita perlu bertahap (step by step) mengubah paradigma masyarakat, itu bukanlah "kebudayaan", dan perlahan menggeser perspektif yang mengatakan politik uang sudah mejadi budaya dan sulit dihapuskan. Ini adalah "mindset" pesimisme, narasi-narasi konstruktif tentang itu harus dilawan. Karena politik uang yang dilakukan secara terus menerus merupakan kekeliruan, ia bukanlah "kebudayaan". Sebab sejatinya budaya berangkat dari nilai-nilai luhur agung, bermuara pada keadilan dan kesejahteraan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Rakyat Terluka

 

Firasat Demokrasi

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved