Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

KNPI di Balik Terjangan Disrupsi

Jika KNPI telah ditinggal zaman, haruskah KNPI yang telah menelorkan banyak tokoh di negeri ini membubarkan dirinya?

Editor: syakin
fB Armin Mustamin Toputiri
Armin Mustamin Toputiri, Sekretaris KNPI Sulsel 2001-2004 

Oleh: Armin Mustamin Toputiri
Sekretaris KNPI Sulsel 2001-2004

Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) dideklarasikan pendiriannya di Cipayung 23 Juli 1973 oleh para pimpinan organisasi kemahsiswaan berbasis kekaderan, kelak populer dinamai “Kelompok Cipayung” (HMI, PMII, PMKRI, GMKI dan GMNI) -- setelah sebelumnya, beberapa kali melakukan serangkaian pertemuan dalam kegiatan dilaksanakan pemerintah melalui BKKBN.

Kiprah KNPI dalam perjalanan sejarah selanjutnya, kelak kemudian berhasil melahirkan banyak tokoh yang memiliki pengaruh di negeri ini. Mereka tak hanya mengabdikan diri di lingkaran birokrasi pemerintahan, tapi juga di dunia wirausaha. Bahkan jauh lebih banyak lagi di antara mereka, berkiprah di kancah politik praktis.

Selain di tingkat nasional, jauh lebih banyak lagi di daerah-daerah yang hampir merata di sejumlah penjuru di tanah air. Tampilnya para tokoh muda dalam mengambil alih regenerasi kepemimpinan bangsa, itu tak lain karena adanya dukungan mobilitas vertikal dari Golkar yang kala di era Orde Baru menjadi satu-satunya partai yang menjadi penopang kekuasaan.

Sekaligus melalui kanal Golkar itulah sehingga KNPI sah mendapat pengakuan pemerintah sebagai satu-satunya repsentasi wadah pemersatu dan komunikasi pemuda di Indonesia. Akibatnya, KNPI juga memiliki jaminan akan ketersedian anggaran dalam menjalankan programnya, bersumber dari porsi belanja negara dan daerah, sebagaimana diamanatkan dalam rumusan GBHN.

Namun sejak bergulirnya gerakan reformasi 1998, ditandai dengan dibukanya saluran kran demokratisasi seluas-luasnya, yang kemudian berkonsekuensi terhadap berlakunya sistem kompetisi pasar secara bebas dengan mengedepankan pada kompetensi individual, maka sejak itu kiprah KNPI secara perlahan mulai meredup.

Sekalipun sudah mencoba untuk merumuskan orientasi barunya melalui “Paradigma Baru KNPI 2020”. Malah belakangan terjadi, kepemimpinan KNPI terbelah menjadi beberapa kelompok yang sama-sama mengakui sebagai kepengurusan yang sah.

Berlatar Aliran

Deklarasi berdirinya KNPI, sesungguhnya bukanlah suatu yang sifatnya serta merta, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dari tapak-tapak sejarah bangsa yang jauh sebelumnya mendahului. Pernyataan Sumpah Pemuda misalnya, melalui Kongres Pemuda II-1928 yang diikrarkan oleh para tokoh pemuda berdasar keterwakilan kedaerahan, menjadikan bukti yang tak bisa dielak bahwa masyarakat negeri ini memang memiliki latar yang beragam.

Bahkan sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan, sejak mula telah berdiri Boedi Otomo 1908 yang hanya menghimpun kaum terdidik di kalangan priyai Jawa. Lalu 1909 menyusul berdiri Sarekat Dagang Islam, 1926 berdiri NU, 1927 berdiri PNI, serta sejumlah organisasi lainnya yang memiliki niat yang sama untuk memerdekakan Indonesia.

Namun pada perkembangannya, setelah Indonesia merdeka, sekian organisasi kemasyarakatan itu mengubah wujud menjadi partai politik. Terbukti keikutsertaan mereka serta sebagai kontestan pemilu pertama 1955.

Sejak pemilu 1955 itulah, pada ahirnya tak bisa dielakkan dengan mulai berkembangnya politik aliran di Indonesia. Oleh antropolog Amerika, Clifford Geertz, mengelompokkannya dalam tiga kategori besar yakni: kelas menengah agamis (santri), petani dan rakyat jelata (abangan), serta birokrat-aristokrat (priayi). Atau oleh Soekarno di masa ‘demokrasi terpimpin’, mengakumulasinya sebagai ‘Nasakom’ (Nasionalis, Agama, Komunis). Penggolongan itu, menjadi bagian dari representasi golongan aliran di antara keempat partai politik peraih suara terbesar pada Pemilu 1955 yakni PNI, Masyumi, NU, dan PSII.

Pada puncak pertentangan aliran-aliran itu, ketika sidang konstituante tak berhasil melahirkan kesepakatan untuk mengesahkan UUD pengganti UUDSementara, Soekarno pada akhirnya menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.

Di tengah kondisi carut marut negara, lebih lagi dengan bergolaknya pemberontakan di daerah-daerah, serta pemberontakan PKI, menuntut massa mahasiswa yang tergabung dalam KAMI, turun ke jalan. Meminta Soekarno turun dari jabatan Presiden. Sejak itulah kekuasaan Orde Lama berakhir, diganti rezim Orde Baru Soeharto. Dan di masa awal Orde Baru itulah, KNPI di deklarasikan pendiriannya sebagai kelanjutan pergerakan sebelumnya.

Berkomite di KNPI

Sejak mula berdirinya, KNPI disepakati sebagai organisasi berbentuk konfederasi, sehingga dinamai komite (committee) yakni wadah berhimpunnya Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP). Tak lain adalah kelanjutan dari aliran-aliran politik di masa Orde Lama.

KBBI mengurai arti ‘komite’ yaitu sejumlah orang yang ditunjuk melaksanakan tugas tertentu. Dengan demikian, KNPI, tak sama bentuknya dengan OKP. Jika kepengurusan OKP berdasar perseorangan, maka kepengurusan KNPI terdiri dari eksponen perutusan masing-masing OKP yang menyatakan ikut berkomite di KNPI untuk melaksanakan tugas tertentu. Sekaligus keragaman OKP yang berhimpun, menjadikan KNPI sebagai ‘miniatur Indonesia’.

Namun keberagaman aliran-aliran itu, pada akhirnya pupus dengan sendirinya di bawah 32 tahun kekuasaan Orde Baru yang tak ingin mengulang kisah carut marut negara di era Orde Lama akibat menajamnya pertentangan politik aliran.

Lambat laun, OKP yang berbasis dari aliran-aliran, sendirinya ikut melemah. Keberhimpunan di OKP ikut terbawa melemah. Substansi berkomite di KNPI, pada akhirnya memudar. Akibat itulah, KNPI kehilangan rohnya sebagai organisasi konfederasi. KNPI diterjang disrupsi, kini tinggal jasad.

Reorientasi KNPI

Jika KNPI telah ditinggal zaman, haruskah KNPI yang telah menelorkan banyak tokoh di negeri ini membubarkan dirinya? Jawabannya, mau tak mau sudah seperti itu jika ingin tetap bertahan pada jati dirinya sebagai organisasi konfederasi aliran-aliran. Di mana politik aliran sudah mencair.

Saya membayangkan, jika KNPI ingin melanjutkan kehidupannya, tak ada cara lain selain mengubah jati dirinya. Bukan lagi konfederasi OKP berdasar aliran-aliran, tetapi menjadi konfederasi ‘asosiasi’ kepemudaan berdasar keahlian-keahlian, di mana era millennium banyak pemuda berkelompok ke dalam berbagai bentuk keterampilan yang mumpuni. Sekaligus untuk menjawab tantangan industrialisasi 4.0. (*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved