Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Esensi Hari Ibu

Hari Ibu sebenarnya bukanlah perayaan di mana ibu sebagai sosok yang mempertaruhkan nyawanya mengandung, melahirkan, dan kemudian membesarkan anaknya

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Esensi Hari Ibu
DOK
Muhammad Husain, Mahasiswa PPKn

Oleh: Muhammad Husain
Mahasiswa PPKn

HARI Ibu 22 Desember sebenarnya bukanlah perayaan di mana ibu sebagai sosok yang mempertaruhkan nyawanya mengandung, melahirkan, menyusui dan kemudian membesarkan putra-putrinya.

Namun, Hari Ibu lahir sebagai momentum perjuangan para ibu untuk memberikan kontribusi terhadap kemajuan bangsa Indonesia. Menoleh kembali altar sejarah di Eropa kita dapati Christine De Pizan dalam perjuangan 'feminismenya' pada abad ke-15.

Kemudian dilanjutkan beberapa perempuan pada abad ke-18 seperti Susan B Anthony, Elizabeth Cady Stanton, dan Marry Wollstonecraft salah satu penerus Mary Astel. Dari pergulatan ini maka lahirlah Jeannette Ranking Pickering sebagai perempuan pertama yang masuk ke dalam Kongres Amerika Serikat yang terpilih di Montana pada tahun 1916 dan terpilih kembali pada tahun 1940.

Sedangkan di Indonesia sendiri kita dapati 'emansipasi' yang diperjuangkan oleh Nyai Ontosari, Nyai Sukanto, dan Nyai Hajar Dewontoro, serta ketujuh rekan-rekan mereka yang tidak dapat disebutkan satu-satu namanya. Baru kemudian dilanjutkan oleh Raden Ajeng Kartini, dengan meluncurkan "Habis Gelap Terbitlah Terang". Pun Cut Nyak Dien serta Dewi Sartika.

Dalam Door Duistermis tox Licht, (Habis Gelap Terbitlah Terang), surat-surat yang dituliskan Kartini kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.

Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tetapi dibuktikan dengan mendirikan sekolah untuk anak gadis dengan beberapa rekan seperjuangannya seperti Cut Nyai Dien dan Dewi Sartika.

Era ini bertepatan akhir abad ke-19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diizinkan untuk memperoleh pendidikan yang tinggi seperti pria.

Perjuangannya dilanjutkan pada dekade 1930-an suatu tahap penting dalam sejarah pergerakan kaum perempuan di Indonesia.

Gagasan Kemajuan

Pada periode ini, perubahan dan pertentangan ideologi mulai memasuki wacana perempuan Indonesia. Gagasan kemajuan yang menjadi tema sentral pada awal abad ke-20 mulai mengalami pergeseran, atau lebih tepatnya pengkayaan strategi kerap kali menimbulkan pertentangan satu sama lain dikalangan organisasi perempuan.

Sampai pada Desember 1928-1941 diberlakukan kongres perempuan Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak perempuan terutama di bidang pendidikan dan diskriminasi.

Perjuangan ini digagas oleh Nyai Hajar Dewantoro, Nyai Soejatin, Nyai Soekanto, dan beberapa perempuan lainnya. Berkat usaha mereka kongres pertama sampai dengan kongres keempat berjalan dengan lancar dan menghadirkan seluruh elemen perempuan dari latar belakang suku, ras, agama, dan kelas yang berbeda meskipun pada waktu itu Indonesia belum mencapai klimas kemerdekaan.

Adapun beberapa muatan hasil kongres pertama sampai ketiga yang disepakati antara lain memberikan beasiswa kepada pelajar perempuan yang mempunyai kemampuan belajar tinggi namun dibatasi ekonomi.

Mendirikan lembaga anti buta huruf, meneliti pekerjaan perempuan Indonesia, dan mencetuskan 22 Desember sebagai Hari Ibu.

Di mana Ibu berkedudukan sebagai ibu bangsa, ibu negara, dan ibu masyarakat. Sedangkan pada kongres keempat menuntut perempuan masuk ke dalam dunia politik untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.

Hal tersebut menunjukan bahwa gerakan perempuan Indonesia dalam berkumpul serta berserikat mulai muncul dan memiliki wadah yang tepat. Berkaca pada Indonesia, pejuang dan peneriak emansipasi wanita adalah Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, Cut Nyai, Dien dan tokoh-tokoh lainnya yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, yang notabene adalah kalangan ningrat.

Peneriakan mereka mula-mula adalah pendidikan dan persiapan calon ibu terampil yang kemudian direalisasikan di penghujung abad ke-19 oleh Kartini dengan mulai menulis terkait "Kesetaraan Gender".

Sedangkan pada tanggal 16 Januari 1904, Dewi Sartika menaruh perhatianya pada pendidikan perempuan yang diabadikan sebagai sekolah pertama wanita, yang meluas dan memberi perhatian kepada anak-anak dan kalangan biasa.

Sampai dengan 1917 dan tahun 1922 Rahma El- Joenoesia mendirikan Pesantren Perempuan (Dinija Poetri) yang juga sama-sama menaruh perhatian kepada perempuan dan anak-anak perempuan pada waktu itu.

Belum lagi perempuan yang baru-baru ini diangkat sebagai pahlawan, Ibu Agung Andi Depu pejuang Tanah Mandar. Ia rela menghadang tentara NICA yang saat itu ingin menurunkan bendera Merah Putih di depan Istana Balanipa.

Momen Hari Ibu

Kesadaran para ibu Indonesia sebagai "pembangun peradaban" inilah yang menjadi ruh pergerakan perjuangan para ibu tersebut di masa lalu. Bahkan pada tahun 1935, Kongres Perempuan Indonesia II menetapkan fungsi utama perempuan Indonesia sebagai ibu bangsa dan ibu negara yang berkewajiban menumbuhkan dan mendidik generasi baru yang lebih menyadari dan lebih tebal rasa kebangsaannya.

Lalu masih adakah perempuan yang serupa dengan sosok perempuan legendaris di atas? Ataukah perempuan di era 4.0 ini hanya memilih sebagi generasi penikmat tanpa mengambil hikmah perjuangan darinya? Sungguh kita berharap tidak.

Sejatinya Indonesia masih membutuhkan peran perempuan tak hanya pada wilayah domestik saja tetapi juga pada wilayah perjuangan dan implementasi gerakan perempuan masih dibutuhkan saat ini.

Spirit dan perjuangan perempuan harus hidup sampai kapanpun. Ingat Indonesia masih tinggi kasus kekerasan dan pernikahan dini. Memang betul sudah ada lembaga yg menaungi kasus perempuan dan anak tapi rasanya tidaklah cukup. Perlu kesadaran diri perempuan itu sendiri.

Barangkali kita bersepakat bahwa di momen 22 Desember ini, tidak hanya kemudian sebatas pada mengenang histori keemasan masa lalu oleh kita yang berpijak di Tanah Air indonesia.

Jauh daripada itu semestinya di momen ini kita kembali berkontemplasi bahwa betulkah perempuan sudah berdaya sehingga Hari Ibu ini tidak hanya dirayakan dengan berbagai kegiatan meriah atau upacara seremonial.

Tapi dengan melakukan makna dan arti sesungguhnya dari Hari Ibu itu sendiri, jika ia berada dalam pusaran nostalgia keemasan masa lalunya saja. Maka yakin dan percaya ia mengalami alineasi (keterasingan).

Sebagai penutup, Mahatma Gandhi pernah berkata "banyak sekali pergerakan-pergerakan kita kandas di tengah jalan, oleh karena keadaan perempuan kita yang dikesampingkan dari dunia pergerakan,". Sedangkan Kemal Ataturk dalam statementnya "kemenangan tidak akan kita raih, sebab perempuan dalam perjuangannya selalu kita lupakan,”.

Pun Jeannette Ranking Pickering “Aku mungkin menjadi anggota kongres wanita pertama namun Aku tidak mau menjadi yang terakhir,”.
Surga di bawah telapak kaki kaum ibu, dari rahimnya lahir cahaya peradaban. Selamat Hari Ibu kepada kaum ibu yang ada di dunia, terkhususnya untuk ibu-ibu kita.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved