ASN dalam Pilkada Serentak
Keerlibatan Aparatur Sipil Negara dalam politik praktis dimasa reformasi saat ini tidak bisa dipisahkan dari masa lalu dalam tradisi kepemiluan bangsa
Tetapi tetap saja tidak bisa dihindarkan di mana keterlibatan ASN dalam politik praktis baik pemilihan umum maupun pilkada terus terjadi.
Bahkan dalam kasus temuan Bawaslu Kabupaten Polewali Mandar tahun 2018 dimana ditemukan sekitar 17 ASN yang terlibat berdasarkan laporan dari masyarakat (Data Bawaslu 2018). Terkait permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti penyebab keterlibatan ASN.
Fakta-fakta temuan kasus keterlibatan dan pelanggaran yang dilakukan ASN pada setiap momentum Pilkada Serentak, tentu menjadi problem bagi seluruh penyelenggara dan stakeholder yang konsen dalam rangka melakukan upaya pencegahan terhadap praktik terlarang dalam setiap penyelenggaraan pemilu maupun pilkada serentak yang dilaksanakan.
ASN tentunya adalah profesi fungsional abdi negara yang mendapat tunjangan keprofesian dari negara.
Tentu tugas dan fungsinya sesuai dengan bidang keprofesionalnya, misalnya guru tugasnya mengajar, staf kantor tugasnya melayani masyarakat dalam kebutuhan administrasi.
Namun ada juga ASN yang ikut terlibat dalam politasi birokrasi dengan harapan jika terlibat dalam salah satu tim pemenangan pasangan calon (paslon) tertentu dapat membuat karirnya naik, belum lagi jika paslon yang diusung terpilih menjadi kepala daerah. Dan masih banyak motif lain yang membuat ASN terlibat politik praktis.
Menurut data Bawaslu Kabupaten Polman, pada tahun 2018, secara umum motif dan tujuan para ASN terlibat dalam politik praktis khususnya dalam Pilkada adalah tentang kekuasaan yaitu kenaikan pangkat dan jabatan dalam karir kedinasan.
Sehingga para ASN yang terlibat dalam politik praktis tidak segan untuk ikut terlibat dalam kampanye pasangan calon (paslon), berkunjung ke rumah paslon, bahkan secara terang-terangan mengunggah atau memposting dukungan paslon di media sosial.
Dalam beberapa kajian lainnya, ASN/PNS juga selama ini menghadapi dilema, terutama apabila calon petahana atau incumbent mencalonkan diri kembali sebagai kepala daerah untuk kedua kalinya.
Intimidasi secara tidak langsung sering dihadapi, tidakan netral dianggap tidak mendukung, hal ini akan berpengaruh pada karir dan jabatan yang diduduki oleh ASN/PNS saat ini.
Oleh karena itu, fungsi pengawasan dan pengendalian pelaksanaan sistem merit dalam pengelolaan manajemen kepegawaian ASN yang dilakukan oleh KASN dan Badan Kepegawaian Nagara (BKN), khususnya terkait dengan pengangkatan dalam jabatan, promosi, dan mutasi perlu diperkuat.
Problem Administrasi
Sejatinya, konsekuensi dari penerapan demokrasi prosedural yang telah kita laksanakan saat ini, masih memiliki celah dalam rangka politisasi pelaksanaan pemilu ataupun pilkada. Sehingga upaya kita agar terus mengembangkan demokrasi secara subtantif (nilai-nilai demokrasi) harus terus dilakukan.
Menurut Kaldor dan Veivoda (1997), kita bisa menilai potensi Indonesia menjadi demokrasi sejati dengan mempertimbangkan kemampuan cabang administrasi mengubah dirinya sendiri menjadi badan layanan publik sejati yang dipercayai rakyat.
Republik ini dalam sejarahnya telah dilakukan beberapa kali upaya reformasi terhadap birokasi dengan tujuan membuat fungsinya sebagai lembaga netral yang bekerja melulu untuk kepentingan publik.