Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Omnibus Law: UU Drakula

Saya setuju dengan gagasan ini, karena ditengah over regulasi yang tumpang tindih, perlu ada UU yang bisa meng-cover banyak hal

Editor: syakin
zoom-inlihat foto Omnibus Law: UU Drakula
Facebook
Fajlurrahman Jurdi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Catatan atas Pidato Presiden Joko Widodo

Oleh: Fajlurrahman Jurdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Joko Widodo dan Ma’ruf Amin telah resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024 pada 20 Oktober 2019. Tentu kita akan menanti apa yang baru dari pasangan pemenang Pemilu 2019 ini. Pidato presiden yang beredar setebal lebih-kurang 10 halaman merupakan catatan penting bagi publik untuk melihat kemana arah pembangunan lima tahun ke depan. Pidato ini semacam titik star, sejauh mana “pikiran” presiden tentang apa yang akan dia buat untuk membawa Indonesia lebih baik.

Salah satu frase pendek yang cukup penting bagi saya dalam isi pidato tersebut adalah; “segala bentuk regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas. Pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan 2 undang-undang besar.

Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua. UU Pemberdayaan UMKM. Masing-masing UU tersebut akan menjadi Omnibus Law yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus.

Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi”. Saya menggabungkan dua paragrap pidato presiden di atas, dan isinya sangat ‘revolusioner’.

Karena satu UU akan ‘memakan’ puluhan UU. Berarti UU ini semacam ‘drakula’ bagi UU yang telah ada.

Saya setuju dengan gagasan ini, karena ditengah over regulasi yang tumpang tindih, perlu ada UU yang bisa meng-cover banyak hal. Kasus UU Pemilu dapat menjadi contoh, karena UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu adalah merupakan kodifikasi dari tiga UU sekaligus, yakni; UU Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, UU Nomor 42 tahun 2008 Tentang Pilpres dan UU Nomor 8 tahun 2012 tentang Pileg.

Kodifikasi ini dilakukan untuk menyatukan kerangka regulasi Pemilu sehingga menjadi satu, meskipun pada akhirnya UU Pemilu tebal dan terdiri atas 573 Pasal. Tetapi perlu juga kehati-hatian, karena ini bukan soal sederhana. Setidaknya karena beberapa hal.

Pertama, DPR kadang mengukur keberhasilannya dari sisi seberapa banyak regulasi (baca: UU) yang akan dia buat. Maka makin banyak regulasi, mereka anggap sebagai prestasi, sehingga ide omnibus law akan menjadi pepesan kosong.

Tujuan presiden mengurangi regulasi, tapi tidak ketemu dengan ‘pikiran legislasi’ di DPR, maka tak akan happy ending, pasti bad ending. Kedua, perlu dihitung seberapa banyak UU saat ini yang sudah berlaku dan berkaitan secara langsung dengan ‘pikiran politik presiden’ dalam pidatonya.

Dengan demikian dapat dikualifikasi keterkaitannya dengan persentase. Apakah hanya satu atau dua pasal. Apakah 50% isinya atau 70% isinya mirip dengan ‘isi pikiran presiden’? Apakah setiap ada kaitannya meskipun hanya satu pasal, maka dapat ‘dicabut’ oleh UU omnibus law?  Ketiga, bagaimana cara mengkualifikasi konten (material muatan) UU terkait.

Apa ukurannya? Bagaimana konten itu diverikasi, dengan cara apa dan seterusnya. Keempat, bagaimana cara mencabutnya? Apakah sekaligus akan dicabut melalui ketentuan penutup dengan bunyi frase sapu jagat yakni pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku: a. UU X; b. UU Y; c. UU U; d. dan seterusnya.....”dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.

Kelima, materi UU-nya jelas, UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Kedua UU ini sebenarnya adalah derivasi dari jantungnya ‘janji’ presiden saat kampanye 2019. Karena janji ‘lapangan kerja’ cukup menjadi sorotan, bahkan akan menyiapkan anggaran untuk membiayai ‘latihan’ mereka yang belum bekerja hingga memperoleh pekerjaan.

Lalu pertanyaannya, apakah ini punya korelasi dengan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan? Bisakah dihubungkan dengan Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan? Karena sama-sama ‘tenaga kerja’ yang butuh lapangan kerja? Atau ada UU Sektoral lainnya?

Keenam, atau menciptakan satu UU baru sama sekali, meskipun pada akhirnya omnibus law tidak mempengaruhi apapun terhadap regulasi yang sudah ada? Pidato presiden bagi saya, terutama pada frase omnibus law adalah ‘pikiran revolusioer, ia melampaui apa yang ada. Ia semacam Ius Contituendum, hukum yang sedang dicita-citakan.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved