Tribun Wiki
Film Pengkhianatan G30S/PK Gambarkan Soeharto Sebagai Superhero, Ini Profil Sutradara Arifin C Noer
sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut
Penulis: Desi Triana Aswan | Editor: Ina Maharani
Setelah selesai, film ini ditayangkan dalam sidang kabinet dan semuanya setuju.
Film berdurasi lebih dari tiga jam ini ditayangkan di bioskop dan TVRI sebagai tontonan wajib anak-anak sekolah dan pegawai pemerintah.
Ternyata, Arifin kecewa setelah melihat hasilnya.
Dia mengungkapkan kekecewaannya kepada Eros Djarot, sutradara, penulis lagu, dan politisi.
“Hingga menjelang turunnya Soeharto hanya ada satu versi untuk melihat peristiwa G30S, yakni versi film Pengkhianatan G30S/PKI garapan Arifin C. Noer, sebuah rekonstruksi visual yang agaknya dicomot langsung dari kepala Soeharto, superhero satu-satunya dalam film tersebut,” tulis Eros Djarot, dkk., dalam Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI.
“Berbicara soal film yang sangat ‘luar biasa’ mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini, saya jadi ingat Mas Arifin C. Noer. Betapa kecewanya Mas Arifin sebagai sang sutradara ketika melihat hasil akhir keseluruhan film yang dibuatnya sendiri itu. Sebab, berdasarkan pengakuannya, sebagai sutradara film ternyata dia telah dipaksa tunduk pada seorang sutradara politik yang bertindak sebagai pengarah film sesungguhnya,” kata Eros Djarot, sutradara film fenomenal Tjoet Nja’ Dhien (1988).
Setelah membuat film Pengkhianatan G30S/PKI, Arifin ingin berhenti membuat film.
Mungkinkah karena kekecewaan terhadap film itu?
Dia menyampaikan keinginannya itu dalam surat tanggal 10 Februari 1984 kepada Ajip Rosidi, sastrawan yang berdiam di Jepang pada 1980-2002.
Ajip membalas surat itu pada 17 Februari 1984.
“Keputusan untuk tidak membuat film lagi tentu keputusan yang penting. Buat saya, juga mengagetkan. Sayang dalam surat itu kau tidak memberi alasan yang lebih terperinci. Kau mengatakan bahwa selama 5 tahun membuat film merupakan tahun-tahun yang percuma. Dari segi apa? Dalam arti apa?” tulis Ajip dalam buku kumpulan surat-suratnya, Yang Datang Telanjang.
Ajip memberikan penilaian terhadap film-film karya Arifin dan memintanya agar mempertimbangkan lagi keputusan untuk berhenti membuat film.
Ajip menyebut bahwa Arifin sepertinya punya masalah dengan PFN (Produksi Film Negara).
“Baik sekali kau mempertimbangkan hubunganmu dengan PFN. Tetapi jangan hendaknya karena itu kau lantas memutuskan mau berhenti membuat film. Sebab, kalau begitu, maka dunia perfilman Indonesia akan terus hanyut dalam selera Indo –atau Cina,” kata Ajip yang berharap “filmmu akan membuat tradisi, atau baik disebutkan: melanjutkan tradisi film pribumi seperti yang dibuat oleh Usmar Ismail.”
Akhirnya, Arifin pun urung berhenti bikin film. Setelah Pemberontakan G30S/PKI, dia membuat film Matahari Matahari (1985), Biarkan Bulan Itu (1986), Taksi (1990), dan terakhir, Bibir Mer (1991).