OPINI
OPINI - Kita Memang Sudah Rasis Sejak dalam Alam Pikiran
Dalam pikirannya, mereka selalu mengasosiasikan orang kulit hitam sebagai orang yang bodoh, tertinggal, dan terbelakang.

Ia memang berbeda dengan adiknya yang berkulit lebih cerah. Padahal orang tuanya tidak pernah membanding-bandingkan kedua anaknya.
Tetapi mengapa ia merasa perlu membeli krim pemutih? Karena orang-orang sekitarnya.
Orang-orang sekitarnya –yang bisa jadi keluarga atau tetangganya sendiri—yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya, memanggilnya ‘item’ atau lotong (Bugis: si hitam).
Krim pemutih ia tahu sepertinya dari iklan-iklan di televisi. Iklan-iklan yang tiada henti membombardir menanamkan di kepala bahwa putih itu cantik dan tampan.
Propaganda ini akan terinternalisasi dalam diri anak untuk selanjutnya kemudian menjadi sikap mental ketika ia besar dan ketika ia tidak merubah cara berpikirnya, barangkali seiring dengan propaganda yang tak pernah berhenti pula.
Orang-orang yang sejak dari alam pikiran rasis akan selalu menemukan cara menghujat orang lain terutama fisiknya.
Orang-orang itu di sekitar kita. Jika ia beruntung tidak berkulit gelap maka ia akan dilihat dari wajahnya.
Apakah matanya besar, sipit, atau juling. Apakah hidungnya mancung atau pesek.
Baca: Ketua FKUB Dukung Penutupan THM di Luwu Timur
Apakah bibirnya seksi atau sumbing. Atau jika bebas dari semua itu maka mereka akan merundung posturnya.
Jika tinggi akan dilihat kurus atau gemuk. Jika pendek, nah mereka akan meledeknya.
Beberapa kali saya mengupload foto-foto saya bersama teman-teman dari Amrik atau negara lain berpostur tinggi menjulang, namun alih-alih mereka fokus pada postingan saya, orang-orang rasis ini akan sibuk meledek postur tubuh saya yang memang tidak tinggi-tinggi amat.
Barangkali saya sedikit ‘beruntung’ karena kulit saya sedikit lebih cerah.
Pernah suatu waktu teman saya sendiri ketika saya mengupload foto saya sedang di Amrik dan saya bilang padanya jika profesor saya berkata kini Amrik adalah negara saya juga.
Teman saya itu langsung nyeletuk “Muka tidak mendukung jadi orang sana (Amrik)”. Jelas ini orang kurang belajar sejarah.
Belasan tahun lalu pula saat masih berseragam es-em-pe, seorang ibu-ibu melihat betis saya yang memiliki bulu-bulu sedikit lebih lebat dari yang lain (secara genetik keluarga saya memang berbulu), ibu-ibu itu langsung bilang, “Seperti monyet.”
Saya tidak pernah lupa kata-katanya itu. Saya tidak yakin jika ia sedang melucu.
Kalau pun niatnya begitu, melucu dengan meledek fisik orang lain sama sekali tidak lucu. Saya tidak pernah tertawa jika seseorang ingin melucu dengan menghina fisik orang lain.
Melucu dengan menyakiti orang lain, lucunya di mana?
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Rabu (28/08/2019)