OPINI
OPINI - Kita Memang Sudah Rasis Sejak dalam Alam Pikiran
Dalam pikirannya, mereka selalu mengasosiasikan orang kulit hitam sebagai orang yang bodoh, tertinggal, dan terbelakang.

Oleh:
Arief Balla
Alumni Southern Illinois University Carbondale, USA/Penerima Beasiswa Fulbright
Ada teman saya, bukan cuma satu tetapi beberapa, yang sering meminta ucapan selamat dari orang Amerika.
Entah ucapan selamat ulang tahun untuk diri sendiri, institusi, organisasi non-pemerintah atau promosi kursus khususnya kursus Bahasa Inggris.
Yang saya pahami orang Amerika adalah orang yang menjadi warga negara Amerika, terlepas apapun asalnya apalagi warna kulit.
Negara ini termasuk dibangun oleh orang-orang dari berbagai ras dan etnis. Sehingga orang-orang Amerika terdiri dari orang kulit putih, cokelat, kuning langsat dan hitam.
Namun ketika saya meminta teman Amerika yang berkulit hitam memberi ucapan selamat atau promosi kursusnya, teman-teman saya di Indonesia itu menolak.
Mereka meminta bule yang berkulit putih. Padahal mereka ya sama-sama orang Amerika sejak lahir.
Dan bahasa Inggris mereka tentu sama-sama fasihnya. Postur mereka sama. Sama-sama tinggi dan sama-sama mancung.
Lalu mengapa teman-teman saya itu sebagaimana kebanyakan orang Indonesia tidak mau diberi ucapan atau berfoto jika orang Amerikanya berkulit hitam? Sederhana. Karena mereka rasis. Sejak dari dalam alam pikirannya.
Dalam pikirannya, mereka selalu mengasosiasikan orang kulit hitam sebagai orang yang bodoh, tertinggal, dan terbelakang.
Baca: Tradisi Makan Sirih Pinang Masyarakat Manokwari dan Mitosnya
Tidak peduli seberapa pintarpun mereka dan seberapa cantik dan tampan pun mereka dalam definisnya sendiri.
Seberapa banyakpun dari orang kulit hitam yang membuat penemuan penting. Mereka akan tetap memandang rendah orang berkulit hitam bahkan sekalipun mereka adalah orang Amerika juga.
Lagipula penemuan-penemuan itu sendiri tak lepas dari fasilitas dan prasarana dan siapa yang menguasainya.
Lalu dari manakah pandangan rasisme ini berasal? Tentu dari konstruksi masyarakat yang telah terbangun dan dipelihara beratus tahun.
Semuanya tidak terlepas dari konstruksi sejarah, politik, dan ekonomi. Bahkan untuk beberapa alasan, penelitian (seolah-olah) ilmiah dibuat yang dibuat untuk mendukung rasisme.
Samuel Morton, seorang ilmuwan AS, dijuluki “bapak rasisme ilmiah” sebagaimana pernah diulas khusus oleh Tirto.
Morton mengumpulkan tengkorak manusia yang diambil dari medan tempur dan kuburan. Lalu ia mengukur volume otak dan menyimpulkan perbedaan ras berdasarkan kemampuan otak.
Semakin putih rasnya maka dianggap semakin tinggi tingkatan rasnya. Jadi jika kamu merasa rasmu lebih tinggi karena kulitmu putih, ingatlah masih ada di atas kamu yang lebih putih.
Hingga kini warisan rasisme Morton masih mempengaruhi sendi-sendi kehidupan kita.
Baca: Balai Bahasa Gaungkan Literasi untuk Anak Pesisir di Majene
Jika kita menelusuri, sebenarnya sejak lama selalu ada pergolakan dan perlawanan terhadap rasisme yang tidak berdasar.
Agamapun hadir melawan rasisme. Dalam Islam misalnya disebutkan sebaik-baik manusia adalah yang paling bertakwa. Bukan yang hitam atau putih.
Sejarah Islam justru juga telah membuktikan, mengakui, dan melebur persatuan dan menghilangkan perbedaan-perbedaan terutama karena perbedaan kulit.
Betapa agama –jika ia dianggap sebagai sumber kebenaran- telah memberikan pengetahuan.
Tetapi manusia adalah manusia yang lebih sering memperturutkan hawa nafsu dan kebenciannya belaka. Meski Tuhannya sendiri telah memperingatkannya.
Maka terlepas dari apapun bangsanya dan darimana ia berasal, mereka akan tetap bersikap rasis sejak dalam pikiran. Sikap rasis bersembunyi di balik kulit.
Kita seringkali mengkritik dengan kasus rasisme yang terjadi di luar negeri seperti di Amerika Serikat. Negara yang meski sudah sejak lama berjuang rasisme namun sisa-sisanya masih terasa hingga kini.
Meski tentu tidak seperti dulu lagi. Namun, akan tetap ada orang-orang yang rasis.
Mereka tidak serta merta menunjukkannya kini namun suatu waktu selama pikiran rasis itu tetap ada, rasisme itu akan muncul.
Baca: Besok, DKPP Periksa KPU Bantaeng dan Luwu
Dan sikap rasisme itu tidak harus kepada suku lain. Bahkan sesama suku sendiri kita sering melakukannya.
Dua hari lalu seorang kawan di Instagram membagikan cerita anaknya yang berumur empat tahun. Anaknya itu meminta kepada ayahnya untuk membelikan krim pemutih.
Ia memang berbeda dengan adiknya yang berkulit lebih cerah. Padahal orang tuanya tidak pernah membanding-bandingkan kedua anaknya.
Tetapi mengapa ia merasa perlu membeli krim pemutih? Karena orang-orang sekitarnya.
Orang-orang sekitarnya –yang bisa jadi keluarga atau tetangganya sendiri—yang selalu membanding-bandingkan dirinya dengan adiknya, memanggilnya ‘item’ atau lotong (Bugis: si hitam).
Krim pemutih ia tahu sepertinya dari iklan-iklan di televisi. Iklan-iklan yang tiada henti membombardir menanamkan di kepala bahwa putih itu cantik dan tampan.
Propaganda ini akan terinternalisasi dalam diri anak untuk selanjutnya kemudian menjadi sikap mental ketika ia besar dan ketika ia tidak merubah cara berpikirnya, barangkali seiring dengan propaganda yang tak pernah berhenti pula.
Orang-orang yang sejak dari alam pikiran rasis akan selalu menemukan cara menghujat orang lain terutama fisiknya.
Orang-orang itu di sekitar kita. Jika ia beruntung tidak berkulit gelap maka ia akan dilihat dari wajahnya.
Apakah matanya besar, sipit, atau juling. Apakah hidungnya mancung atau pesek.
Baca: Ketua FKUB Dukung Penutupan THM di Luwu Timur
Apakah bibirnya seksi atau sumbing. Atau jika bebas dari semua itu maka mereka akan merundung posturnya.
Jika tinggi akan dilihat kurus atau gemuk. Jika pendek, nah mereka akan meledeknya.
Beberapa kali saya mengupload foto-foto saya bersama teman-teman dari Amrik atau negara lain berpostur tinggi menjulang, namun alih-alih mereka fokus pada postingan saya, orang-orang rasis ini akan sibuk meledek postur tubuh saya yang memang tidak tinggi-tinggi amat.
Barangkali saya sedikit ‘beruntung’ karena kulit saya sedikit lebih cerah.
Pernah suatu waktu teman saya sendiri ketika saya mengupload foto saya sedang di Amrik dan saya bilang padanya jika profesor saya berkata kini Amrik adalah negara saya juga.
Teman saya itu langsung nyeletuk “Muka tidak mendukung jadi orang sana (Amrik)”. Jelas ini orang kurang belajar sejarah.
Belasan tahun lalu pula saat masih berseragam es-em-pe, seorang ibu-ibu melihat betis saya yang memiliki bulu-bulu sedikit lebih lebat dari yang lain (secara genetik keluarga saya memang berbulu), ibu-ibu itu langsung bilang, “Seperti monyet.”
Saya tidak pernah lupa kata-katanya itu. Saya tidak yakin jika ia sedang melucu.
Kalau pun niatnya begitu, melucu dengan meledek fisik orang lain sama sekali tidak lucu. Saya tidak pernah tertawa jika seseorang ingin melucu dengan menghina fisik orang lain.
Melucu dengan menyakiti orang lain, lucunya di mana?
Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Rabu (28/08/2019)