OPINI
OPINI - Menggugat Sistem Pendidikan Dasar Nasional
Penulis adalah Dosen FIS UNM dan Rekan Kuliah Dr Ichsan Yasin limpo SH MH di Program Doktor Ilmu Hukum Unhas, Angkatan 2015

Ichsan YL mengutip paparan Anies Baswedan sewaktu menjabat Mendikbud pada acara silatuhrahmi Kementerian yang dilaksanakan pada Desember 2014 bahwa 75 persen sekolah di Indonesia tidak memenuhi standar pelayanan minimal.
Kondisi birokrasi dan kondisi pendidikan nasional sudah sangat gawat. Fakta yang sesungguhnya membuat kita harusnya prihatin.
Satu faktor penyebab keterpurukan pendidikan nasional adalah politik hukum pendidikan, mengenai pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum (beserta kebijakan pemerintah) yang sesuai dengan kebutuhan.
Ichsan menyimpulkan bahwa pengaturan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional tidak siknron dan tidak harmonis dengan kebijakan pendidikan dasar dan menengah dalam Pembukaan dan Batang tubuh UUD 1945.
Khususnya Pasal 31; UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional khususnya Pasal 2, dan Pasal 12; PP No. 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan khususnya Pasal 51; dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah boleh menggalang dana yang bersumber dari orang tua/wali siswa.
Baca: Mahasiswa KKN PPM UNM Gelar Penyuluhan Gizi dan Kesehatan Masyarakat di Sidrap
Ketentuan peraturan yang lebih rendah telah membelokkan atau mengganti maksud dan tujuan dari ketentuan peraturan yang lebih tinggi, bahkan dalam UU yang sama yakni UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas terdapat kontradiksi antara Pasal 2 dengan Pasal 12 Ayat (2) huruf b.
Politik hukum tentunya berpengaruh langsung pada implementasi.
Ichsan menilai bahwa pengaturan pendidikan dasar dalam sistem pendidikan nasional kita, telah menyimpang jauh dari semangat pendiri bangsa yang tertuang dalam rumusan pandangan Muhammad Yamin dalam sidang BPUPKI, dan rumusan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945, serta UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, baik dalam proses penyelenggaraan sistem pembelajaran maupun dalam proses penilaian dalam evaluasi belajar yang berjenjang.
Justru implementasi dari semangat politik hukum pendidikan dasar kita, ditemukan dalam praktik/implementasi penyelenggaraan pendidikan dasar di enam negara yang merupakan lokasi penelitian.
Salah satu masalah pengelolaan sekolah adalah muatan mata pelajaran pada semua jenjang terlalu menekankan pada aspek kognitif, beban siswa terlalu berat, serta minim pengembangan karakter.
Di sekolah dasar kita, terdiri dari 11 mata pelajaran dengan beban 30-36 jam perminggu. Di tingkat SMA, siswa harus mengikuti 16 mata pelajaran.
Padahal di negara-negara maju seperti Finlandia dan Singapura, maksimal 9 tagihan mata pelajaran.
Ini kemudian menurut Ichsan menciptakan 'stres akademik', yang memaksakan, menekan, bahkan mengancam peserta didik.
Baca: Aparatur Desa Pertanyakan Insentif yang Tak Diberikan Kades Taring
Tidak tercipta atmosfir belajar yang kondusif untuk memberikan ruang yang luas bagi anak untuk mengembangkan kreativitasnya.
Padahal kreativitas sangatlah dibutuhkan untuk berinovasi dan berkompetisi di masa yang akan datang.
Mengeni 'stres akademik', diskursus menarik dijelaskan Ichsan YL bahwa bahwa anak-anak pada usia 3 tahun sampai 8 tahun adalah anak-anak yang berada pada the golden age.