OPINI
Membumikan Keteladanan Gubernur Amiruddin
Ditulis dosen Ilmu Komunikasi Unhas Dr Hasrullah menanggapi opini di koran ini yang ditulis AM Sallatu di halaman opini koran Tribun Timur.
Membumikan Keteladanan Gubernur Amiruddin
(Tanggapan Tulisan AM Sallatu)
Oleh : Dr Hasrullah (Dosen Ilmu Komunikasi Unhas - Penulis Buku Dendam Konflik Poso)
Untuk ‘membumikan’ tulisan opini AM Sallatu menyoal: Otak Cerdas vs Cerdas Otak edisi Tribun Timur, 26 Juli 2019, sebaiknya kita menggunakan analisis aktor agar kita dapat merujuk model ideal dalam melihat sosok pemimpin cerdas.
Menelaah tulisan AM Sallatu, saya membaca berkali-kali agar tidak gagal paham untuk menanggapinya terhadap bahasan pemimpin dan kepemimpinan.
Saya sadar, kapasitas tulisan tersebut perlu saya angkat ‘topi’ dari segi pengetahuan dan pengalaman beliau adalah senior dalam bidang ilmu dan intelektual.
Olehnya itu, saya mencoba mengambil kesimpulan dari tulisan beliau di akhir paragraf sebagai berikut “Otak cerdas dengan sederet predikat dan gelar akademik sekalipun, mungkin hanya bisa melahirkan pemain ping-pong yang hebat.
Tapi manajemen pemerintahan tetap membutuhkan dua sisi yang kembar, arts and sciences.
Otak cerdas seorang pemimpin sangat mengandal arts dan sciences.
Itu artinya sangat sempurnalah seorang pemimpin yang dapat mengolaborasikan antar seni memimpin dan kekuatan ilmu pengetahuan yang dimiliki.
5 Fakta Kepala BRI di Gowa Tilep Uang Nasabah, Nomor 3 Kecanduan Judi Online, Begini Nasibnya Kini
Ini Calon PAW Almarhum Amar Busthanul di DPRD Makassar
Dari perspektif konstruktivisme, model kepemimpinan yang generatif itu akan mampu mengikis egoisme dan ‘kesembongan ilmu’ yang dimiliki pemimpin.
Begitu juga dari segi kapasistas seni, pemimpin menjauhkan diri dari temperamental dan karakter tumpul.
Menyimak pemimpin yang dimaksudkan AM Sallatu, sebenarnya pemerintahan di Sulawesi Selatan pernah melahirkan seorang pemimpin besar memiliki dua kemampuan tersebut.
Beliau adalah Achmad Amiruddin yang menyandang nama harum sebagai “Nakhoda dari Timur”.

Bahkan nama besar Pak Amir (nama kecil dan panggilan akrab beliau) sosok di mata Prof Dr Ing. BJ Habibie adalah Amiruddin: Ilmuan-Pendidik yang berdedikasi.
Bahasan tulisan AM. Sallatu terasa pas ketika membicarakan otak cerdas vs cerdas otak, karena modal leadership dan social capital sampai sekarang ini tidak tergantikan dan jejak langkah Pak Amir selalu menjadi inspirasi dari pemimpin.
Sekaliber Habibie mengontruksikan pikiran Pak Amir adalah seorang tokoh, ilmuan dan pendidik, memiliki akhlak, kecakapan, dan integritas yang tinggi.
Maka wajar saja, lompatan berpikir melebihi rata-rata sorang akedimisi dan ilmuan.
Bahkan, implementasi program beliau sangat terasakan menggema karena program inovasinya, seperti pemindahan kampus-pusat pemerintahan yang memberikan dampak positif dan dirasakan kegunaan hingga saat ini.
Bagaimana dengan Pak Amir di mata AM Sallatu. Seperti buku berjudul Maha Guru di Mata Para Guru (2007) hal. 32, bahwa Pak Amir amat cerdas untuk meyakinkan pihak lain. Pak Amir negosiator yang ulung perpaduan otak kiri dan otak kanan.
Lobi-lobi politik-pemerintahan meyakinkan pihak pemerintah pusat dengan program unggulan menjadi nyata di depan kita.
Selain pembangunan kampus dan kantor gubernur juga pembangunan Dam Bili-Bili, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta dan Bandara Hasanuddin seperti dikatakan AM. Sallatu sebagai contoh kecerdasan seorang pemimpin.
Cerita lain diungkap Ketua DPRD Sulsel Moh Roem, salah satu murid Pak Amir.
Ini Calon PAW Almarhum Amar Busthanul di DPRD Makassar
Modus Mahasiswa Perdaya Siswi SMA hingga Renggut Mahkota Si Cewek di Hotel, Cek Kronologinya!
Dalam buku Achamd Amiruddin Untold Stories (2014, editor Dahlan Abubaka), Moh. Roem memberikan judul tulisannya Bukan Gubernur Biasa.
Ulasan dan komentarnya, menilai Pak Amir dari perspektif karakter dan seni memimpin. Berikut petikannya “Satu yang khas Pak Amir.
Dia seorang pemimpin yang tidak pernah menjelekkan anak buahnya di mata orang lain”.
Narasi jati diri Pak Amir, memperlihatkan kecerdasan otak kanan coba ‘dimainkan’ bawahannya.
Imajinasi, watak, dan karakternya tidak pernah mempermalukan bawahan. Apalagi mempermalukan di depan publik.
Fungsi-fungsi “jaririgan otak kanan” berjalan normal dan berupaya memperbaiki bawahan dengan cara sebagai pendidik. Itulah Gubernur Amiruddin.
Kecerdasan otak kanan Pak Amir sangat terkontrol dan jauh dari aroma KKN.
Kita simak narasinya (hal. 262), “Jangan coba-coba melanggar prinsip, melanggar komitmen, apalagi soal uang, itu tidak ada ampun bagi beliau. Kalimat yang sangat dikenal dari beliau.
Saya bisa mempercayaimu, sampai kamu masih dapat dipercaya. Jika beliau tidak dipercaya lagi, tiada maaf”.
Pergelutan karakter kepemimpinan dan yang dimiliki Pak Amir merupakan wujud bijak yang menjadi teladan bagi murid-muridnya.
Perpaduan seni dan keilmuan yang telah diwariskan sudah sewajarnya tidak dicedarai sebagai anak didik yang kini telah berkiprah di pemerintahan dan masyarakat.
Diksi karakter dan seni yang digemakan AM. Sallatu, jangan hanya sebatas bacaan artikel koran, tapi perlu diresapi untuk diimplementasikan dalan kehidupan sehari-hari.
Apalagi, teori-teori pembentukan opini publik seperti ditelorkan Doris Graber “Media Power in Politics” sejak tahun 1984, bahwa media massa ditambah dengan media sosial yang tidak bertepi, fungsi dapat menaikkan-menjatuhkan citra diri seorang pemimpin.
Opini publik, bagaikan mata pisau bermata ganda. Bila positif tentu akan melahirkan decak kagum bahwa pemimpin tersebut membawa bau wangi hingga akhir hayatnya.
Sebaliknya ketika opini sudah berbau busuk akibat ketidak mampuan menjalankan pemerintahan.
Pemuda Toraja Ini Juara Roaster Kopi Terbaik Indonesia
10 Kasus Pencabulan Sedarah di Indonesia 2019, Tragis! Ada Gadis Digilir Ayah, Kakak, dan Adiknya
Apalagi ada aroma tidak sedap praktik KKN, maka sudah dapat dipastikan nama baik selama ini dimiliki akhirnya jatuh tersungkur karena opini publik sudah tidak mempercayai lagi.
Maka tulisan senior saya, tekanannya kepada karakter dan bijak akan melengkapi deretan gelar begitu banyak yang disandang sebagai pemimpin yang dirasakan manfaatnya bagi masyarakat.
Bukankah ketika mahasiswa diuji kapasitas inteketualnya, baik itu ; skripsi, tesis, dan disertasi, maka diakhir ujian seorang pembimbing dan promotor mengatakah: ujian akademik sudah Anda lalui.
Tapi yudisium terakhir ada di palagan masyarakat. Begitukah pemimpin yang berada di depan mata kita? Bravo Gubernur Amiruddin!!!