Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Otak Cerdas vs Cerdas Otak

Penulis adalah Koordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI)

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Otak Cerdas vs Cerdas Otak
AM Sallatu

Oleh:
AM Sallatu
Koordinator Jaringan Peneliti Kawasan Timur Indonesia (JiKTI)

Bulan Juli ini, BI Institute menyelenggarakan apa yang disebutnya Neuro Leadership Forum.

Video clip sebagai iklan pengantar forum ini sudah sangat menarik dan menggugah tentang eksistensi otak bagi manusia, dan disebutnya sebagai mahkota kehidupan.

Perkembangan dan kompleksitas kehidupan telah menuntut adanya pergeseran dari kinerja pemimpin cerdas (brain leader) ke kinerja pemimpin bijak (wise leader).

Kehidupan dewasa ini dan apalagi ke depan, ternyata tidak hanya membutuhkan kecerdasan semata. Apalagi dengan semakin berkembangnya kecerdasan artifisial.

Menariknya karena lebih awal disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkannya ke depan.

Seseorang pemimpin berikut kepemimpinannya dengan otak cerdas, secara umum bisa diamati dari substansi pemikiran yang dilontarkan dan atau yang ditawarkannya.

Apalagi kalau didukung oleh gelar akademik yang disandangnya, sehingga bila mampu menghasilkan kinerja yang mengagumkan menjadi tidak mengherankan publik.

Tetapi pada saat yang sama juga masyarakat luas pun dapat menilai, apakah seseorang tersebut sudah dapat dikatakan pemimpin yang berkepemimpinan bijak atau tidak, tergantung pada karakter yang dipertontonkannya.

Karakter, bersangkut paut dengan cerdas otak.

Baca: Aparat Desa Parenreng Bersama Mahasiswa KKN UMI Bakti Sosial

Apapun yang menjadi penilaian masyarakat tentu saja sangat bergantung pada value judgement yang digunakannya, bersifat subyektif, sehingga akan bisa menimbulkan diskusi panjang bahkan perdebatan.

Yang repot bila akumulasi subyektifitas menyatu dalam suatu warna yang pekat.

Hari-hari belakangan ini, masyarakat luas di Sulsel disuguhkan seperangkat permasalahan kepemimpinan, baik melalui media online maupun media cetak.

Karena itu, otak cerdas vs cerdas otak, bisa menjadi bahan diskusi.

Apakah realitas ataupun bentukan opini yang ada akhir-akhir ini, sudah mampu menoreh garis rentang antara otak cerdas dan cerdas otak, dalam permasalahan kepemimpinan yang mengemuka?

Permasalahan kepemimpinan diatas, sayangnya banyak pula mengundang tawa kecut, karena hadir mempertontonkan perseteruan antara pimpinan puncak dan pimpinan perangkat pendukungnya justru dalam suatu lingkup institusi yang besar bernama pemerintahan daerah.

Bagaikan permainan pimpong, yang sudah terjadi adalah smash dibalas dengan smash, yang sangat tidak menggambarkan makna etika pemerintahan.

Wibawa dan martabat pemerintahan benar-benar sementara teruji. Penonton pertandingan pimpong ini, seakan tinggal menunggu, kapan dan pada pihak mana bola pimpong akan jatuh ke lantai.

Baca: Bareng Polres, Delegasi ENJ UNM Sosialisasi Bahaya Narkoba dan Stunting

Akan kah pertandingan pimpong atau perseteruan kekuasaan serta kewenangan yang tercermin diatas akan berakhir biasa-biasa saja.

Atau, bahkan mungkin bisa bermuara pada akan kembalinya roda pemerintahan daerah diatas rel yang sebenarnya.

Masyarakat luas masih harus berjudi dengan waktu, tetapi satu hal yang pasti sebahagian masyarakat setidaknya, sudah goyah tingkat kepercayaannya pada institusi pengayomnya.

Pertandingan pimpong sudah bermetamorfosa sebagai suguhan tarian penyanyi ‘doleng-doleng’, menurunkan martabat penarinya.

Suka atau tidak suka, pemerintahan daerah sudah mengalami semacam pendarahan, sejarah sudah mencatatnya.

Tentu juga masyarakat luas tetap mengharapkan janin tetap bertahan dan atau dipertahankan. Agar sejarah tidak sempat mencatat hal baru yang lain.

Dan memang beruntung karena perangkat teknologi kekuasaan sudah tersedia. Adalah sebuah malapetaka besar, bila janin harus gugur. Semoga tidak.

Walaupun sudah menjadi realitas bahwa dinamika permasalahan yang terjadi sudah diwarnai oleh keguguran demi keguguran dalam permainan kewenangan dan kekuasaan.

Baca: Menpan Akan Kirim ASN ke Autralia dan Selandia Baru, Kerja Sama Double Degree UI Unhas Melbourne

Semacam revolusi yang telah memakan anak bangsanya sendiri, sudah ada beberapa yang terjungkal.

Menarik untuk mengutip kalimat Warren Bennis dalam bukunya Managing People (2001, hal.67) yang mengatakan …‘Namun, saya telah melihat banyak sekali orang yang terjungkal dari posisinya gara-gara kurang pertimbangan dan tidak berkarakter’.

Kedua hal ini, pertimbangan dan karakter, menurut Bennis, merupakan hal yang paling sulit, hal yang tidak bisa diajarkan, hanya bisa disimak bagaimana keduanya itu terbentuk pada diri seseorang.

Di bagian lain, Bennis (hal 149) menulis bahwa bagi para pemimpin, ujian dan pembuktian selalu dilakukan ketika menjalankan pekerjaannya.

Karena sudah menjadi asa dan pengetahuan masyarakat luas, bahwa kepada para pemimpin yang berada di panggung kekuasaan, sangat diharapkan untuk mampu menampilkan pesona bijak dalam memperlihatkan karakter diri pribadinya masing-masing.

Di abad teknologi informasi sekarang ini, nyaris tidak ada lagi yang bisa ditutup-tutupi.

Masyarakat luas dengan amat mudah dan cepatnya, melihat dan mencatat bagaimana tarian kekuasaan yang dimainkan oleh para pemimpinnya.

Dalam ungkapan lain, Bennis (hal.22) mengatakan, …. ‘Kita tidak begitu suka pada apa yang dilakukannya, tapi kita sangat menyukai caranya melakukan’.

Baca: Polsek Sinjai Barat Gilir Jaga Pelaksanaan Salat Jumat di Sinjai Barat

Ada suatu kilas balik yang kemudian patut menjadi perhatian, dalam hal kehadiran seseorang yang selanjutnya berpredikat pemimpin.

Kilas balik ini patut dicermati dalam kehidupan politik daan pemerintahan diseputar kita. Oleh karena senyatanya sudah berlangsung nyata praktek teori microwave dalam proses rekruitmen pemimpin.

Adalah microwave yang bisa memproses secara instan, dimana si Anu dimasukkan dan tidak lama kemudian keluarlah hasilnya, Sang Pemimpin.

Tentu saja akan banyak tergantung pada bahan baku dasar yang membentuk si Anu ini, yang akan menentukan nantinya apakah si Anu ini cepat basi atau tidak, setelah keluar dari microwave.

Karena itu kembali lagi, tampilan bahan baku dasar yang lebih banyak otak cerdasnya, menjadi bukan segala-galanya.

Otak cerdas dengan sederet predikat dan gelar akademik sekalipun, mungkin hanya bisa melahirkan pemain pimpong yang hebat, tetapi manajemen pemerintahan tetap membutuhkan dua sisi yang kembar, arts and sciences.

Sciences bisa membuat seseorang mampu menjulang tinggi ke angkasa, tetapi dunia pemerintahan berada di hati masyarakat luas, dan lebih membutuhkan arts.

Disitulah cerdas otak itu bersemayam, akan tampil nyata dalam wujud bijak dan berkarakter.(*)

Catatan: tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi cetak, Jumat (26/07/2019).

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved