OPINI
OPINI - Puasa dan Kuasa
Namun seperti perkataan Rasulullah, tiada kekuasaan yang paling besar untuk ditundukkan selain hawa nafsu.
Namun hanya seseorang yang menangis dalam salatnya. Si abid yang menangis ini sedang “menghayati” pengalaman beribadahnya.
Ia sedang merasakan dimensi “dalaman” salat.
Tidak sekadar bergerak melaksanakan rukun salat, ia terhanyut di dalam spiritualitas salat. Jiwanya tergetar saking khusuknya.
Orang yang menangis ini sesungguhnya sedang menyerap dimensi esoteris ibadah. Sementara jamaah yang sama sekali tidak menangis hanya bergerak di tataran eksoteris belaka.
Baca: ACT Tebar Kebaikan di Bulan Ramadan Lewat Paket Iftar untuk Korban Bencana Palu
Puasa karena tidak nampak pelaksanaannya—selain waktu menahan dan berbuka, bisa dilakukan dalam berbagai aktifitas.
Puasa bisa dijalankan sambil bekerja di kantor, menarik becak, berjualan di pasar, atau sambil tidur-tiduran di rumah sekalipun.
Bahkan puasa adalah ibadah yang unik karena bisa sekaligus dilaksanakan dalam ibadah lain. Sambil puasa seseorang masih dapat melaksanakan salat secara bersamaan.
Karena puasa adalah ibadah di dalam ibadah, ia sesungguhnya berkaitan erat dengan dimensi esoteris manusia.
Tujuan puasa adalah penajaman dimensi kejiwaan manusia dari hasrat rendah ego.
Selain menahan lapar dan dahaga, puasa melibatkan pengelolaan jiwa agar tidak terjebak ke dalam niat buruk dan jahat kebinatangan.
Tahun kedua Hijriah, di bulan Ramadan sepulang dari perang badar, Rasulullah mengingatkan para sahabat bahwa sesungguhnya mereka baru pulang dari perang kecil dan akan segera menghadapi perang besar.
Sahabat yang heran bertanya: ”Perang besar apalagi yang akan kita hadapi, ya Rasulullah?” Nabi Muhammad SAW menjawab, “jihaadun nafsi (perang melawan hawa nafsu).”
Baca: Ramadan, YBM PLN Sulselrabar Beri Beasiswa 30 Pelajar di Bone
Melalui narasi filosofis Nietzsche, filolog asal Jerman, manusia didakukan sebagai makhluk yang memendam hasrat berkuasa.
Kata Nietzsche, niat beragama, berbudaya, berekonomi, dan berpolitik adalah wujud dari kehendak manusia untuk berkuasa.
Jika ada representasi moral dari tindak tanduk perilaku manusia, kata Nietzsche, itu hanyalah topeng dalam rangka menguasai.