OPINI
OPINI - Puasa dan Kuasa
Namun seperti perkataan Rasulullah, tiada kekuasaan yang paling besar untuk ditundukkan selain hawa nafsu.
Oleh:
Bahrul Amsal
Pengurus Masika ICMI Makassar Periode 2019-2023
Puasa adalah wahana manusia menjadi manusia. Cara manusia menyerupai sifat Tuhan: tidak makan dan tidak minum.
Itulah sebabnya puasa adalah ibadah yang tinggi derajatnya. Ia cara Tuhan mengajak manusia ‘merasakan’ langsung dimensi ketuhanan.
Caranya dengan memutus hubungan dari aktifitas yang mengikutkan hasrat libidinal manusia: makan, minum, seks, dengki, marah, dll.
Ibarat Tuhan yang suci, melalui puasa, manusia diajak mensucikan dirinya dari godaan yang membuatnya ‘kotor’ dan hina.
Puasa juga merupakan ibadah personal. Berbeda dari salat misalnya, ibadah puasa tidak menampakkan langsung bentuk praktiknya.
Salat ketika dilaksanakan memungkinkan banyak orang melihatnya.
Sementara puasa, saking personalnya, selama ia dikerjakan dengan penuh komitmen, adalah rahasia pelaku puasa dengan Tuhannya belaka.
Baca: Kemitraan Importir dan Petani Dorong Perluasan Areal Tanam Bawang Putih
Agama mengandung dua dimensi: eksoteris dan esoteris. Dimensi eksoteris agama adalah ‘praktik’ syariat yang dikerjakan manusia.
Ia adalah aspek ‘luaran’ agama: tampakan lahiriah yang mewakili nilai agama melalui cara, model, bentuk, atau metode tertentu.
Perbedaan tata cara menyembah tiap agama adalah contoh aspek ‘luaran’ yang berpangkal dari pemahaman syariat yang berbeda-beda.
Kadang di suatu masjid ditemukan seseorang menangis ketika salat. Air matanya berlinang saat menundukkan kepalanya.
Sehabis salat ia melanjutkan ibadahnya dengan berdoa. Sesekali ia sesenggukan masih menangis.
Sementara tidak jauh dari tempatnya, jamaah yang lain nampak biasa-biasa saja melakukan salat. Jangankan bersedih, air mata yang mengalir di pipinya pun tak ada.
Dua orang di atas sama-sama melakukan rukun salat secara tertib. Dari takbir hingga mengucapkan salam.