Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tarif Baru Ojol Tak Jamin Kesejahteraan Pengemudi

Pasalnya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan Ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Penulis: Muhammad Fadhly Ali | Editor: Ansar
abdiwan/tribun-timur.com
Anggota Komisi IX DPR RI, Aliyah Mustika Ilham bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menemui ratusan driver ojek online kota Makassar di Hotel Grand Cendrawasih, Senin (08/04/2019) siang. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Hasil survei Research Institute of Socio- Economic Development (RISED) berjudul 'Persepsi Konsumen terhadap Kenaikan Tarif Ojek Online di Indonesia' menyimpulkan, kenaikan tarif ojek online (Ojol) yang berpedoman pada Keputusan Menteri Perhubungan (Kepmenhub) nomor 348 Tahun 2019, tidak menjamin terjadinya peningkatan kesejahteraan pengemudi.

Pasalnya, kenaikan tarif justru bisa menggerus permintaan Ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif pada pendapatan pengemudi.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan publik tentang respon konsumen terhadap kebijakan kenaikan tarif yang berpedoman pada Kepmenhub No 348 tahun 2019, sekaligus memberikan gambaran terkait willingness to pay (kesediaan membayar) konsumen terhadap layanan Ojol.

Baca: Tolak Serahkan Motor, Driver Ojol di Makassar Dibegal Begini Kondisinya

Baca: Tarif Baru Ojol Dikeluhkan Warga, Begini Reaksi Pengamat

Hadir dalam peluncuran hasil survei yaitu Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara yang juga Ekonom Universitas Airlangga dan Fithra Faisal Ekonom Universitas Indonesia sebagai narasumber sekaligus penanggap hasil riset.

Ketua Tim Peneliti Rumayya Batubara mengatakan pelaksanaan survei dilaksanakan pada 3 ribu konsumen pengguna Ojol yang tersebar di sembilan wilayah di Indonesia yang mewakili ketiga zona yang diatur di dalam Kepmenhub tersebut yakni Jabodetabek, Surabaya, Bandung, Yogyakarta, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, dan Malang.

"Waktu penelitian dimulai dari 29 April hingga 3 Mei 2019, sedangkan nilai margin of error survei berada di kisaran 1,83 persen," kata Rumayya dalam rilisnya, Senin sore (6/5/2019).

Menurutnya, tarif baru yang diatur Pemerintah per 1 Mei 2019 ini tidak mencerminkan tarif yang akan dibayar oleh konsumen.

“Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi, mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi,” jelas Rumayya.

Ekonom Unair tersebut mencontohkan bahwa dengan asumsi tambahan biaya sewa aplikasi sebesar 20 persen, tarif batas bawah yang harus dibayar oleh konsumen di Jabodetabek adalah sebesar Rp 2.500 per km, bukan seperti yang tertera di Kepmenhub yang menyatakan Rp 2.000 per km.

Kemudian, dari hasil survei RISED didapatkan kenaikan tarif berpengaruh terhadap pengeluaran konsumen setiap harinya.

Menurut RISED, jarak tempuh rata-rata konsumen adalah 7-10 km per hari di Zona I (Jawa non-Jabodetabek, Bali, dan Sumatera), 8-11 km per hari di Zona II (Jabodetabek), dan 6-9 km per hari di Zona III (wilayah sisanya).

Dengan skema tarif yang berpedoman pada Kepmenhub tersebut dan jarak tempuh sejauh itu berarti pengeluaran konsumen akan bertambah sebesar Rp 4.000-Rp 11.000 per hari di Zona I, Rp 6.000-Rp15.000 per hari di Zona II, dan Rp 5.000-Rp 12.000 per hari di Zona III.

“Bertambahnya pengeluaran sebesar itu sudah memperhitungkan kenaikan tarif minimum untuk jarak tempuh 4 km ke bawah. Jangan lupa tarif minimum juga mengalami peningkatan. Misalnya di Jabodetabek dari sebelumnya Rp 8.000 menjadi Rp 10.000-Rp 12.500,” jelas Rumayya.

Rumayya mengatakan, bertambahnya pengeluaran sebesar itu akan ditolak oleh 47,6 persen kelompok konsumen yang hanya mau mengalokasikan pengeluaran tambahan untuk Ojol maksimal Rp 4.000-Rp 5.000 persen hari.

Bahkan, sebenarnya ada pula 27,4 persen kelompok konsumen yang tidak mau menambah pengeluaran sama sekali.

“Total persentase kedua kelompok tersebut mencapai 75 persen secara nasional. Jika diklasifikasikan berdasarkan zona maka besarannya adalah 67 persen di Zona I, 82 persen di Zona II, dan 66 persen di Zona III,” tambah Rumayya.

Sebagai tambahan, Rumayya juga menjelaskan bahwa rata-rata kesediaan konsumen di non- Jabodetabek untuk mengalokasikan pengeluaran tambahan adalah sebesar Rp 4.900 persen hari.

Baca: Likuiditas Ketat Bikin Penyaluran Kredit Belum Maksimal

Jumlah itu lebih kecil 6 persen dibandingkan rata-rata kesediaan konsumen di Jabodetabek yang sebesar Rp 5.200 per hari.

“Oleh karena itu, Pemerintah perlu berhati-hati dalam pembagian tarif berdasarkan zona. Daya beli konsumen di wilayah non-Jabodetabek yang lebih rendah tentu harus dimasukkan ke dalam perhitungan Pemerintah,” kata Rumayya.

Rumayya menambahkan, Pemerintah hendaknya mengevaluasi regulasi tarif dalam bisnis Ojol.

Pada akhirnya, berkurangnya permintaan Ojol tidak hanya akan menggerus manfaat yang diterima masyarakat dari sektor ini, tapi juga akan berdampak negatif pada penghasilan pengemudi karena konsumen enggan menggunakan Ojol lagi.

“Sudah saatnya Pemerintah mendasarkan pembuatan kebijakan pada bukti-bukti statistik mengenai kondisi objektif yang terjadi di masyarakat. Selain itu, perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi,” kata Rumayya.(tribun-timur.com)

Laporan Wartawan Tribun-Timur.com, @fadhlymuhammad

Jangan Lupa Subscribe Channel Youtube Tribun Timur:

Follow juga Instagram Tribun Timur:

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved