Dulu Dukung Jokowi-JK, Kini Imam Shamsi Ali di Kubu Prabowo-Sandi, Ini 7 Alasannya
Shamsi Ali adalah imam Islamic Cultural Center (ICC), masjid terbesar di New York, Amerika Serikat, asal Sulawesi Selatan.
Penulis: Jumadi Mappanganro | Editor: Jumadi Mappanganro
Sebaliknya keterlibatan saya mengambil hak politik dan melakukan tanggung jawab agama saya.
3. Walau saya sudah lama hidup di luar negeri, hampir dua pertiga umur saya, tapi cinta dan perhatian saya kepada tanah air tidak pernah berkurang.
Sejujurnya saya mungkin termasuk salah satu anak bangsa yang cukup kecewa ketika negeri ini belum mampu menjadikan rakyatnya sebagai tuan di negerinya sendiri.
Negara besar yang kaya raya. Tapi takyat stagnan dalam kemiskinan.
Sementara itu ada kecenderungan jika potensi-potensi kekayaan negara semakin dibiarkan untuk dikuasai orang lain.
4. Di sisi lain, negara besar ini, besar dalam sejarah, besar potensi sumber daya manusia dan alam, besar dalam keragaman budaya dan agama, dan yang lebih khusus lagi negara berpenduduk terbesar Muslim dunia yang mampu mengawinkan antara Islam dan norma-norma dunia modern, seperti demokrasi, HAM, kesetaraan jender, dan lain-lain.
Sayangnya dengan segala kebesaran bangsa ini dunia kerap masih melihatnya sebelah mata.
Dalam penilaian saya, salah satu penyebabnya adalah kharisma dan kapabilitas kepemimpinan itu menjadi faktor utama.
Kasus terkecil adalah ketidakmampuan komunikasi pemimpinnya.
5. Selama ini dunia dibombardir dengan misinfomasi-misinformasi yang salah tentang saudara-saudara kami di tanah air.
Seringkali ketika merek berkumpul dengan Jumlah besar, seperti pertemuan 411, 212, dan lain-lain dicap sebagai kegiatan “intoleran”.
Padahal mereka berkumpul untuk mengekspresikan diri juga karena keyakinan mereka tentang demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Keterlibatan saya untuk menegaskan bahwa kegiatan ini adalah kebanggaan bangsa dan umat.
Karena bangsa ini adalah Muslim terbesar dunia tapi sekaligus punya komitmen demokrasi. Apalagi semuanya dilakukan dengan aman, damai dan penuh kesejukan.
6. Saya juga gerah dengan tuduhan-tuduhan seolah umat ini jika berkomitmen dengan agamanya berarti terjadi krisis loyalitas kepada negaranya.
Ada upaya sistimatis untuk membenturkan antara komitmen keagamaan dan kebangsaan umat.
Padahal NKRI, Pancasila dan UUD 45 adalah hadiah terbesar umat dan ulama-ulamanya.
Karenanya saya sebagai putra bangsa ingin menegaskan bahwa keterlibatan
Saya di acara yang dikomandoi oleh para ulama dan Habaib itu adalah bentuk komitmen kepada negara dan agama.
Keduanya adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan di negara ini.
7. Saya juga memutuskan hadir dan mendukung pasangan Prabowo-Sandi karena saya melihat keduanya adalah pasangan calon yang sesuai dan saling melengkapi. Sosok Prabowo yang militer dengan keberanian dan ketegasannya didampingi oleh sosok muda yang pintar, visioner, sukses dan santun.
Saya menilai pasangan ini adalah pasangan yang sangat ideal dalam menjalankan roda pemerintahan ke depan.
Akhirnya sekali lagi saya tegaskan bahwa dukungan politik saya ini tidak sama sekali akan mengurangi intens komunikasi dan persahabatan dengan mereka yang kebetulan memiliki pilihan lain.
Mari belajar dewasa dalam berdemokrasi yang memang alaminya akan terjadi perbedaan pilihan.
Yang terpenting dari semua itu adalah perlunya kita semua membangun kesadaran bahwa siapapun kita dan apapun pilihan kita ada “common ground” (kesamaan) di antara kita.
Sebagai umat kesamaan kita adalah demi “izzah Islamiyah” (kemuliaan Islam dan umat).Dan sebagai bangsa tentu tidak lain adalah demi Indonesia Raya.
Harapan saya untuk Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Sandiaga Uno periode mendatang dengan izin Allah, agar mereka merebut slogan Donald Trump: Making Indonesia Great Again.
Tapi untuk semua latar belakang suku, ras dan agama. Semoga!
Takbir...Merdeka!!!
Udara Jakarta-Makassar, 7 April 2019
Anak negeri di kota New York, AS.