OPINI
OPINI - Rasionalitas dan Ibrah Isra Mikraj
Peristiwa Isra dan Milraj menjadi batu uji keimanan umat Islam pada waktu itu.
Bagaimana merasionalkan bahwa ada orang mati bisa hidup kembali? Bukankah irasional kalau orang yang dibakar kemudian tidak hangus?
Namun, itu semua terjadi atas kehendak Allah Swt. Karenanya sangat rasional jika Nabi Muhammad mampu melakukan perjalanan tersebut.
Tak lain karena ‘campur tangan’ Tuhan. Karena itu dalam islam keimanan harus berangkat dari kajian rasionalitas bukan doktrinal.
Islam memerintahkan pemeluknya untuk berpikir dalam rangka mengenal Tuhan dan meyakini kebenaran agama yang dianutnya.
Selanjutnya yang bisa dijadikan ibrah adalah aspek kepemimpinan dalam Islam. Hal ini tercermin dari ibadah shalat berjamaah.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam peristiwa inilah perintah shalat lima waktu diwajibkan. Shalat hakikatnya tidak hanya mengandung nilai spritualitas semata.
Tak sekedar berbicara religuisitas. Namun, maknanya begitu luas dan dalam. Segala sisinya mengandung pelajaran yang begitu memesona.
Shalat mengajarkan tentang ketaatan sempurna, kedisiplinan dalam menjaga waktu, kebersihan lahiriah dan batiniah dan sebagainya.
Baca: Rumah di Hertasning Tanpa Uang Muka, Sabtu Ini Gelar Open House
Selain itu shalat berjamaah mengandung filosofi kepemimpinan yang begitu baik, indah dan teruji.
Bila mesjid diibaratkan bangunan masyarakat, maka dalam shalat berjamaah di mesjid mengajarkan kesetaraan derajat.
Siapa saja yang datang duluan maka berhak menduduki saff atau barisan pertama. Tak ada aturan bahwa saff pertama hanya untuk golongan tertentu.
Tidak ada previlege status sosial, suku, kebangsawanan, jabatan yang dimiliki untuk menjadikan saff pertama sebagai monopolinya.
Walaupun kaya, punya jabatan dan semacamnya kalau datang terlambat maka saff belakanglah tempatnya.
Begitu juga bila dianalogikan Imam adalah pemimpin atau penguasa dan makmun adalah rakyat, maka shalat berjamaah menuntun bahwa jamaah (rakyat) wajib taat dan patuh pada Imam (pemimpin).