Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

OPINI - Eksistensi DPD-RI Terancam

Penulis adalah Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan

Editor: Aldy
zoom-inlihat foto OPINI - Eksistensi DPD-RI Terancam
tribun timur
Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan

Oleh:
Andi Cibu Mattingara, SH
Kepala Divisi Kampanye dan Perluasan Jaringan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sulawesi Selatan

17 April 2019 mendatang adalah sejarah baru perkembangan ketatanegaraan RI dalam menyelenggarakan pileg dan pilpres secara serentak untuk pertama kalinya.

Kontestasi pemilu yang demokratis menjadi parameter lahirnya perwakilan rakyat, baik di pusat maupun daerah serta pemimpin bangsa untuk satu periode ke depan.

Para peserta pemilu adalah partai politik kecuali Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai peserta pemilu melalui perorangan atau nonparpol.

DPD semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen di Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD.

Dengan struktur bikameral ini, diharapkan proses legislasi dapat dilaksanakan berdasarkan keseimbangan perwakilan (balance of representative).

Baca: Gubernur Sulsel Mengaku Malu Sekolah Pinjam Laptop Sama Orang Tua Siswa

Baca: Istimewa, Ini Alasan Sulsel Jadi Lokasi PNLH Walhi Tahun 2020

Adanya konsep atau gagasan reformasi konstitusi yang melahirkan DPD sebagai badan khusus
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merepresentasikan wilayah, diharapkan mampu
mengakomodir kepentingan masyarakat daerah melalui institusi formal di tingkat nasional.

Pelembagaan fungsi representasi, dapat dilihat dari dua aspek yaitu, perwakilan politik (political
representation) dan perwakilan territorial (territorial representation).

Perwakilan politik ialah DPR yang pesertanya terdiri dari partai politik. Sedangkan perwakilan teritorial/daerah ialah DPD yang pesertanya melalui perorangan.

Benturan Norma
Dikabulkannya gugatan Oesman Sapta Oddang (OSO) beberapa waktu lalu terhadap Komisi
Pemilihan Umum terkait pencalonannya sebagai anggota DPD sekaligus sebagai ketua partai
politik (Hanura) sebagaimana putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor : 65P/HUM/2018, menjadi malapetaka bagi DPD secara kelembagaan pada Pemilu 2019.

Padahal substansi pencalonan anggota DPD telah mendapatkan kekuatan hukum sebelumnya, yakni putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor : 30/PUU-XVI/2018. Dalam frasa putusan tersebut menegaskan jika pencalonan DPD harus terlepas dari kepengurusan partai politik, namun faktanya terjadi benturan putusan pengadilan antara MK dan MA.

Baca: UNBK, Siswa SMK Pulau Sembilan Nyalakan Genset hingga Pinjam Laptop Tetangga

Jika dilihat dari kewenangan MK yang juga berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution), sifat putusannya final dan mengikat (final and binding), maka MA seharusnya mempertimbangkan putusan MK tersebut, tanpa memutus perkara yang berbeda namun pada substansinya sama dengan putusan MK.

Sebab putusan MK setara dengan Undang-Undang. Sebagaimana interpretasi Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman, kedudukan MK dan MA adalah setara, namun secara proporsional, konsep putusannya berbeda yakni MK lebih kepada peradilan hukum (court of law) sedangkan MA adalah peradilan keadilan (court of justice).

Konsekuensi yuridisnya, KPU harus melaksanakan putusan MA tersebut, terkait pencalonan anggota DPD sekaligus pengurus partai politik untuk memasukkan kembali dalam Daftar Calon Tetap (DCT).

Sebab KPU harus tunduk terhadap putusan MA sebagai bentuk profesionalisme lembaga penyelenggara pemilu.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved