OPINI
OPINI - Pembangunan dan Keadilan Sosial
Penulis adalah Dosen Fisip Unismuh Makassar dan Sekretaris Koalisi Kependudukan dan Pembangunan Sul-Sel
Oleh;
Amir Muhiddin
Dosen Fisip Unismuh Makassar
Sekretaris Koalisi Kependudukan dan Pembangunan Sul-Sel
Pengurus Wilayah Koalisi Kependudukan dan Pembangunan Sulsel, Jumat (8/3/19), menyelenggarakan rapat kerja wilayah Tahun 2019 di Hotel Ramedo Makassar.
Raker tersebut disamping membahas program kerja juga melakukan diskusi seputar isu-isu kependudukan dan Keluarga Berencana yang dianggap berpengaruh secara signifikan, baik dari aspek kelembagaan maupun program.
Salah satu isu besar dalam diskusi tersebut adalah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development) yang menakup empat pilar, yakni Pembangunan manusia, Pembangunan ekonomi, Pembangunan lingkungan hidup, dan Governance.
Acara ini dibuka oleh Kepala Perwakilan BKKBN Sulawesi Selatan dan diikuti oleh pengurus dan anggota KK-Sulsel, dan unsur pimpinan BKKBN Sul-Sel.
Tampil sebagai narasumber Prof. Dr Tahir Kasnawi sebagai ketua Wilayah KK Sul-Sel dan Dr Paulus Uppun sebagai sebagai Research Centre For Population and Human Resources Hasanuddin University.
Baca: Masih Ada 11 Desa di Wajo Berkantor di Kolong Rumah Warga
Pembangunan dan Keadilan
Pembangunan berkelanjutan diangkat sebagai thema besar karena ada fenomena bahwa telah terjadi ekploitasi besar-besaran oleh manusia terhadap alam, melampaui ambang batas sehingga menjadi rusak dan memberi ancaman hidup, bukan saja manusia, bahkan termasuk tumbuhan dan binatang sekalipun, kalau ini dibiarkan terus menerus bukan saja akan mengancam kehidupan umat manusia saat ini, akan tetapi lebih-lebih mengancam kehidupan generasi mendatang.
Prof Tahir Kasnawi yang tampil pertama dalam diskusi tersebut memberi batasan “Pembangunan Berkelanjutan” sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini, tanpa mengabaikan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Selanjutnya dikemukakan bahwa Kerangka Konseptual Pembangunan Berkelanjutan mencakup, Pembangunan Ekonomi yang berkelanjutan, Pembangunan Sosial yang berkelanjutan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.
Kerangka konseptual ini relevan dengan ekspektasi Sustainable Development Goals (SDGs) yang disepakati oleh193 negara dalam sidang umum PBB di New York AS, 25 September 2015.
Baca: 11.000 Lowongan Kerja Kementerian BUMN, PT Pertamina Terima 313 Orang, Daftar Segera, Batas 17 Maret
Ada beberapa ciri pembangunan ekonomi berkelanjutan menurut Prof Tahir, antara lain.
Pertama adalah Green Economy/Technol yang berarti bahwa pertumbuhan ekonomi bukan saja berorientasi pada keuntungan finansial, akan tetapi juga memikirkan kelestarian lingkungan hidup agar dapat dinikmati oleh masyarakat dan jaminan kehidupan bagi generasi mendatang.
Ciri yang kedua adalah Pertumbuhan ekonomi berkeadilan yang Pro Job dan Pro Manpower.
Menurut penulis ini penting sebab ada fenomena bahwa pembangunan ekonomi cenderung mengejar pertumbuhan yang padat modal dan padat teknologi dan hanya menggunakan tenaga kerja yang terdidik dan terampil, padahal tenaga kerja kita yang tidak terdidik melimpah ruah, terutama di desa-desa dan kaum urban yang selama ini banyak menganggur di perkotaan.
Dengan begitu mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan saja mengabaikan pemerataan, akan tetapi juga abai pada keadilan ekonomi untuk semua lapisan masyarakat dan khusus di Indonesia sangat bertentangan dengan konstitusi terutama sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Baca: Motif Narkoba di Gowa, Isap Sabu Demi Jaga Stamina Kerja
Menurut Prof Tahir Kasnawi, Pembangunan Kependudukan merupakan bagian dari Pembangunan Sosial, yang fokus pada rekayasa pembangunan kependudukan untuk memenuhi hak-hak dasar manusia dalam mencapai kesejahteraan hidup.
Pembangunan kependudukan ini menurut penulis tentu saja salah satu upaya untuk mencari solusi, terutama dalam upaya memberdayakan potensi masyarakat kalangan bawah agar mereka bisa terlibat langsung dalam pembangunan ekonomi dan menikmati hasil-hasil pembangunan secara keseluruhan.
Melalui program kependudukan dan keluarga berencana dan pembangunan kependudukan sebagaimana diungkap Prof Tahir Kasnawi pemerintah antara lain telah melakukan peningkatan kualitas hidup.
Menurut penulis ini penting terutama dalam pendidikan dan peningkatan derajat kesehatan. Selanjutnya menjamin akses pendidikan yang sederajat bagi laki-laki dan perempuan, memajukan keadilan dan kesetaraan gender.
Mengintegrasikan kebijakan kependudukan dengan kebijakan pembangunan terkait dan memperkuat kerjasama antara pemerintah, organisasi nasional dan internasional serta dunia usaha.
Baca: Balas Dendam? Andi Arief Akan Bikin Perhitungan dengan Karni Ilyas dan Ancam Mahfud MD
Tantangan
Yang terakhir disebutkan di atas menurut penulis ini penting sebab ada fenomena berkembang, telah terjadi tumpang tindih kebijakan misalnya program keluarga berencana berupaya untuk menekan angka kelahiran dengan semboyan “Dua Anak Cukup”, sementara ada kebijakan dari instansi lain misalnya keluarga harapan yang memberi kontribusi dalam bentuk dana kesehatan bagi mereka yang bersalin.
Selain itu ada kesan bahwa sebagian pemerintah daerah pasca desentralisasi, Keluarga Berencana dianggap program yang kurang penting, bukan memberi kontribusi pada peningkatan Pendapatan Ali Daerah (PAD), malah menguras isi kas daerah, akibatnya Keluarga Berencana secara kelembagaan mengalami disrupsi, sekurang-kurangnya digabung dengan dua atau tiga instansi, celakanya dana operasional yang harus diterima pun semakin berkurang.
Menurut Dr Paulus Uppun yang tampil sebagai pembicara kedua mengemukakan bahwa persepsi pemimpin tentang penduduk sangat menentukan kebijakan kependudukan, di masa Orde Lama penduduk itu dianggap sebagai potensi, bukan riziko, ini yang disebut Pronatalis.
Baca: Vlogger ini Ungkap Jebakan Utang China, Kemenkeu Akhirnya Ungkap Jumlah Utang Indonesia ke Tiongkok
Persepsi berbeda dilakukan oleh Soeharto di masa Orde Baru,melihat penduduk dan KB sebagai program yang harus didukung dalam rangka pengendalian penduduk. Rezim yang dikenal anti-natalis inilah yang menekan pertumbuhan dari sekitar 2,32 % pada tahun 1971, menjadi1,97 % tahun 1980, selanjutnya tahun 1990 turun lagi menjadi 1,45 %.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk yang signifikan ini menandai betapa kuatnya komitmen Presiden Soeharto terhadap KB.
Mudah-mudahan di Era Reformasi yang redup ini bisa menghidupakn kembali lentera KB untuk keberhasilan pembangunan yang berkeadilan. Semoga!(*)
Peserta didik masa kini memiliki ruang yang besar dan cakupan yang luas untuk mengakses informasi dan tidak hanya terpaku dalam lingkup sekolah apalagi ruang kelas. Mereka dengan mudah dapat mengakses berbagai ilmu dari media, khususnya internet.
Dengan memperbaharui pengetahuan dan keterampilan, guru dapat mengatasi kekhawatiran ancaman tergantikannya peran mereka oleh internet dan mesin. (*)
Catatan: Tulisan ini telah dipublikasikan juga di Tribun Timur edisi print, Senin 11 Maret 2019