Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

15 Tahun Tribun Timur

Wakapolda Sulsel dan Kisah "Datuk Tergagah" Minangkabau

Ia datang bersama Direktur Intelkam dan Keamanan (Dirintelkam) Polda Sulsel Kombes Pol Aditya Warman.

Penulis: Darul Amri Lobubun | Editor: Imam Wahyudi
Darul/Tribun
Wakapolda Sulsel Brigjen Pol Adnas bersilaturahmi dalam momentum HUT Tribun Timur ke 15. 

Namun dari sekian kisah itu, yang menarik perhatian dan mengundang takjub adalah kisah yang dia beri judul: Datuk Tergagah Minangkabau.

Alkisah, sekitar tahun 1960-an, di sebuah kampung di Payakumbuh, Sumatera Barat, ada seorang Datuk.

Si Datuk disebut sebagai Datuk tergagah. “Yah, dia memang gagah. Badan kekar, tinggi hampir 180 cm, hidung mancung. Lebih gagah dari saya.”
Warga Payakumbuh pun membalas.

“Bukan itu, Datuk. Dia tergagah karena, dalam satu hari dua kali naik pelaminan. Sebelum Jumat duduk di pelaminan di Payakumbuh, usai Jumat naik pelaminan lagi di kampung seberang, Itulah kenapa Datuk Tergagah, sebab belum pernah ada kabar datuk seperti itu di Minang.”
Brigjen Adnas lalu menyambung, naik pelaminan dua kali itu bukan atas niat si Datuk, melainkan atas permintaan dewan adat. Sekadar diketahui, tak seperti adat lain di Nusantara, di tradisi Minangkabau, si perempuanlah yang “meminang’ lelaki.

Pimpinan Umum Tribun pun bertanya, siapa gerangan si Datuk Tergagah Minangkabau itu?

“Itu adalah Datuk Abbas Zainuddin, almarhum bapak saya itu tahun 1962.”
Dia mengisahkan, ayahnya itu memiliki 4 istri dan 21 anak. “Yang saya lihat, di usiai 75 tahun Bapak saya menikah lagi, dan masih punya anak. Kini adik saya itu, sudah kuliah.” katanya.

Ayah sang Wakapolda termasuk putra tokoh Minangkabau.

Kakeknya adalah Buya Zainuddin Hamidy. Si kakek adalah ulama kelahiran Koto Nan Ampek, Payakumbuh, 8 Februari 1907. “Kakek saya itu mufassir, pendiri pesantren Ma’had Islami Payakumbuh,” ujarnya.

Buya Zainuddin Hamidy juga menulis kitab tafsir. Kitab Tafsir Qur’an ditulis bersama sahabatnya Fakhruddin HS, seorang ulama asal Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota. Si Buya mendirikan Ma’had Islami setelah pulang menimba ilmu dari tanah suci Mekah tahun 1932.

“Sayang, tak ada yang melanjutkan tradisi itu. Saya punya adik di UIN Syarif Hidayatullah, tapi tak mengurus Ma’had. Akhirnya kini, santrinya terus berkurang.”
Buya Zainuddin adalah ulama hafizh (hafal Qur’an), sekaligus mufassir (ahli tafsir). Sebagaimana Buya Hamka yang menulis tafsir Al-Azhar.

Dalam situs, Palikpost mengutip sosok Buya Zainuddin, Buya Hamka pernah bertutur. “Ustadz Syekh Haji Zainuddin Hamidy adalah seorang yang sederhana. Percakapan dari mulutnya hanya satu-satu, tidak banyak. Bila orang bercakap tentang yang tidak berfaedah, ia hanya diam. Jika orang bertanya, dijawabnya dengan senyum.

Senyum yang mengandung seribu satu arti. Ia seorang yang pendiam,” kata Buya Hamka. (Darul Amri Lobubun/Zil)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved