OPINI
Opini Syarifuddin Jurdi: Mengenang Ishak Ngeljaratan
Penulis adalah dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar (non-aktif).
Oleh: Syarifuddin Jurdi
Dosen UIN Alauddin Makassar (non-aktif)
Ketika pagi hari Senin tanggal 16 Juli 2018 mendengar kabar bahwa orangtua, guru dan kolega di Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Sulawesi Selatan Ishak Ngeljaratan meninggal dunia, sebagian merasa terkejut.
Sebab dua hari sebelumnya, tulisan kolomnya di salah satu harian lokal masih muncul. Banyak yang merasa kehilangan atas yang wafatnya Pak Ishak Ngeljaratan (IN) bagi saya sama ketika mendengar kabar meninggalnya guru, orangtua dan teman diskusi saya selama di Yogyakarta yakni Prof Dr Dawam Rahardjo beberapa bulan lalu.
Kadang-kadang IN menurut pengakuannya kalau saya tidak hadir dalam diskusi FPK terasa ada yang hilang, ia mengatakan “Anda ini langka, karena Anda memiliki catatan yang lengkap mengenai materi yang didiskusikan”.
Untuk mengenang almarhum, saya akan melihat dari sisi gagasan yang selalu menjadi spirit bagi banyak kalangan, karena IN sangat kritis terhadap masalah dan dinamika yang dihadapi oleh bangsa dan negara, khususnya dari sisi kebudayaan dan sisi kemanusiaan.
Gagasan Sosial
Ide IN memiliki keunikan yang melampaui wilayah primordial dan ideologinya. IN termasuk sosok yang bisa dengan mudah mengakui nilai-nilai kebenaran dari agama yang berbeda dengan keyakinannya.
Dalam catatan saya selama bergaul denganya, khususnya sejak tahun 2013 ketika saya menjadi pengurus FPK dan menggantikan posisi beliau sebagai Wakil Ketua dan IN cukup menjadi anggota pengurus, sangat terbuka dan kritis.
Baca juga: Opini Aswar Hasan: Kolom Kosong Rasa Petahana
Baca juga: OPINI: Problematika Tata Ruang Usai Pilwali Makassar
Secara pribadi sebenarnya saya telah mengenalnya sejak masa perkuliahan dahulu sekitar tahun 1990-an.
Ide yang selalu digaungkan oleh IN merupakan perpaduan antara nilai-nilai luhur agama dan budaya masyarakat, setidaknya ada beberapa gagasan IN yang perlu menjadi perhatian.
Pertama,konsep mengenai kehidupan. IN menyebut bahwa relasi sesama yang perlu di konstruksi untuk menciptakan tata kehidupan sosial yang beradab dimulai dengan sikap saling menghargai dan menghormati.
Menurut IN konsep hidup bersama itu keliru, bukan saja keliru, tapi salah, menurutnya yang tepat adalah hidup bersesama. Alasannya perbedaan suatu keniscayaan, tidak bisa dipaksakan untuk menjadi satu.
Kedua, manusia diciptakan Tuhan untuk berbeda, tidak ada satupun manusia yang identik dan sama.

Dimensi perbedaan ini menjadi fokus perhatian IN selama hidupnya, ia menyaksikan begitu banyak konflik dan kekerasan yang dihasilkan dari pemahaman dan pengamalan nilai-nilai sosial, agama dan budaya masyarakat yang berbeda.
Menurutnya perbedaan suatu keniscayaan. Dengan adanya perbedaan itu, maka manusia bisa menciptakan kehidupan yang dinamis untuk mencapai kemajuan.
Budaya yang berbeda serta keyakinan agama masing-masing individu yang beragam harus menopang kehidupan demokrasi yang beradab, bukan menghambat lajunya demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
IN berkeyakinan bahwa demokrasi yang dibangun diatas pilar-pilar agama dan budaya yang berbeda akan dapat kokoh dan kuat mencapai kehidupan politik yang memihak kepada kemanusiaan.
Ketiga, ide objektifikasi agama dan budaya menjadi perhatian IN.
Dalam banyak forum yang saya ikuti bersama dengannya, selalu muncul istilah rahmatan lil’alamin suatu istilah yang biasanya fasih diucapkan oleh umat Islam, tetapi justru lebih fasih dan jelas maksudnya ketika IN yang memotret sisi rahmatan lil’alamin sebagai suatu identitas kemanusiaan, bukan identitas keagamaan Islam semata.
Karena misi nabi Muhammad SAW menurut IN yakni misi kemanusiaan dengan melakukan pemberdayaan dan emansipasi atau misi humanisasi.
Rahmatan lil’alamin sebagai upaya memanusiakan manusia, melindungi alam dan lingkungan sosialnya.
Keempat, gagasan obejktifikasi lain dari IN mengenai agama dan budaya adalah amar ma’ruf nahi munkar.
Sama seperti umumnya orang Islam, IN memandang bahwa gagasan amar ma’ruf nahi munkar merupakan gagasan yang sejalan dengan kesucian manusia.
Manusia dalam dimensi kebudayaannya menurut IN harus selalu berbuat baik, dalam bahasa yang popular ia ungkapkan “malu kalau tidak melalukan kebaikan, tetapi juga malu kalau berbuat keburukan”.
Prinsip siri 'dalam budaya Bugis-Makassar menurut IN sejalan dengan kalimat amar ma’ruf nahi munkar.
Pemikiran ini melampaui wilayah keimanan IN yang secara afiliasi keagamaan ia bukanlah seorang muslim, tetapi mengakui bahwa gagasan Islam mengenai nilai-nilai kebaikan diterimanya dengan baik dan diaktualisasikan dalam hidupnya.
Kelima, literasi menjadi satu point penting yang ditanamkan IN kepada kaum muda, ia senang ketika ada kaum muda yang memiliki perhatian dan kepedulian pada dunia literasi, peradaban hanya dapat dikembangkan melalui literasi.
Oleh sebab itu, IN memiliki kolom khusus pada salah satu Koran lokal Sulawesi Selatan sebagai manifestasi dari kesadaran itu.
Pembauran
Suatu keniscayaan apabila berbicara Indonesia yang begitu luas dengan beragam suku, etnik, agama dan budaya serta adat-istiadat.
Keragaman tersebut bisa menjadi potensi dan sekaligus sebagai ancaman bagi kehidupan kolektif yang beradab.
Untuk merawat dan mentransformasi keragaman tersebut, Ishak Ngeljaratan, Halilintar Latief (HL) dan beberapa pegiat kebudayaan di Sulawesi menginisiasi pertemuan untuk membicarakan berbagai kegiatan dan program yang menopang kehidupan kolektif yang beradab itu.
Salah satu produk dari pertemuan para aktivis kebudayaan termasuk IN dan HL adalah berdirinya satu komunitas yang kemudian berkembang menjadi Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) yang secara resmi berada dalam naungan Kesbangpol Propinsi Sulawesi Selatan sederajat dengan FKUB dan FKDM.
Pada periode pembentukan FPK, IN bersama HL menjadi penggerak utama dengan program prioritas untuk meredam kemungkinan terjadinya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan etnik, suku dan daerah.
FPK menurut spirit pembentukannya bukan sebagai alat pemadam kebakaran, tetapi sebagai instrumen yang merekatkan, memersatukan dan mengharmoniskan warga, khususnya relasi antar suku, etnik, budaya dan adat istiadat, termasuk agama.
Proses membaurnya warga menjadi point utama yang dilakukan oleh FPK untuk menghindari terjadinya benturan dan konflik dengan jalan tidak berpikir ekslusif, kelompoisme, sukuisme, golonganisme serta tidak menyesatkan diri.
Pembauran bertujuan untuk membongkar dinding pemisah antara etnik, suku, ras dan antar golongan agar dapat diminimalisasi, sembari mengakui eksistensi masing-masing etnik-suku.
Dalam rangka pembongkaran ini, IN selalu memberi penegasan bahwa perbedaan suatu keniscayaan, namun perbedaan bukanlah alat legitimasi untuk saling menghancurkan, melainkan potensi yang perlu dikembangkan untuk menguatkan kebangsaan dan keindonesiaan.
Oleh sebab itu, IN melalui FPK menghendaki adanya proses komunikasi dan kerjasama antara warga masyarakat yang diarahkan untuk menumbuhkan, memantapkan, memelihara dan mengembangkan pembauran kebangsaan dengan spirit dan keraifan lokal.
Pembauran tidak hanya diarahkan pada kaum tua, tapi justru jauh lebih strategis apabila pembauran itu mulai ditanamkan kepada kaum muda.
FPK melalui program Serambi Kampus telah membuat dan melaksanakan program yang melibatkan pelajar dan mahasiswa dari berbagai suku, etnik dan adat.
IN juga secara serius mengembangkan gagasan untuk mensinergikan dan merapikan proses pembauran melalui integrasi budaya dan agama agar kaum muda dapat memahami dan mengamalkan nilai agama dan budaya, dua pilar ini akan efektif meredam kemungkinan munculnya sikap ekstrem dan radikal di kalangan muda.
Pengurus FPK Propinsi Sulawesi Selatan tentu merasa kehilangan dengan perginya Pak Ishak Ngeljaratan menghadap sang Pencipta.
Selamat jalan guru, orangtua dan kolega kami. Warisanmu akan terus dirawat dan dikembangkan. (*)