OPINI
Opini Ir Fadly Ibrahim: Zakat untuk Sanitasi dan Air Bersih
Penulis adalah Sekretaris Pengarah USBU Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Sulsel dan alumni Program Profesi Insinyur FTI UMI
Oleh: Ir Fadly Ibrahim ST MT IPM
- Sekretaris Pengarah USBU Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Provinsi Sulsel - Alumni Program Profesi Insinyur FTI-UMI
Perubahan iklim (climate change) dan pertumbuhan penduduk adalah tantangan global yang dihadapi umat manusia dewasa ini, khususnya pada negara-negara berkembang berpenduduk tinggi.
Interaksi antara perubahan iklim dengan peningkatan angka kelahiran telah melahirkan problem turunan berupa permasalahan sanitasi dan air bersih.
Dalam persfektif Islam, air tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya (QS 32:27), tapi juga berfungsi untuk mensucikan diri (QS 8:11) sebagai fase penting yang sangat menentukan kesempurnaan iman seseorang dan kesahan sejumlah ibadah mahdah.
Untuk itu upaya menjaga kualitas air sehingga tidak tercemar adalah salah satu agenda penting yang harus menjadi perhatian bersama, sebagaimana peringatan Rasululah saw yang melarang buang air sembarang dan mandi dengan air yang tercemar (HR Bukhari dan Turmidzi).
Akses terhadap layanan sanitasi dan air bersih merupakan kebutuhan dasar masyarakat.
Baca juga: Opini Zulkifli Mochtar: Merawat Fasilitas Umum Kita
Baca juga: Gubernur Larang Takbir Keliling, Sekretariat DPRD Bulukumba Tetap Lakukan Persiapan
Sampai saat ini akses pelayanan air bersih dan sanitasi baru pada level 67% atau masih terdapat kesenjangan sebesar 33% dengan target universal akses 100% sesuai agenda Sustainable Development Goals (SDG’s).
Sanitasi yang buruk dan sumber air yang tercemar akan berdampak pada penurunan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.
Fakta menunjukkan bahwa terdapat hubungan linieritas antara tingkat kematian akibat diare dengan rendahnya kualitas layanan sanitasi dan air bersih.
Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan jumlah kematian bayi akibat diare mencapai 100 ribu anak pertahun atau 31.4% dari angka kematian anak, bila diproporsionalkan dengan prosentasi penduduk muslim maka terdapat 85 ribu jiwa generasi I(slam yang kehilangan kesempatan hidup akibat sanitasi buruk dan air bersih.
Selain itu masyarakat juga harus mengeluarkan biaya senilai Rp 7,2 triliun yang merupakan akumulasi dari biaya perawatan dan waktu produktif yang terbuang.
Bahkan Kementerian PUPR mengestimasi Rp 56 triliun pertahun atau 2.3% dari PDB yang harus dikeluarkan pemerintah akibat buruknya pelayanan sanitasi dan air bersih.
Karenanya harus ada ikhtiar nyata untuk menyelamatkan jiwa dan memelihara keberlanjutan kehidupan manusia (QS. 5:32).
Ikhtiar tersebut tentunya berorientasi pada upaya melepaskan kesulitan yang dihadapi sesama mukmin sebagaimana anjuran Rasulullah (HR Muslim), sehingga dapat direduksi potensi lahirnya problem sosial yang berakar pada keterbatasan akses layanan.
Baca juga: Libur Lebaran Tetap Bisa Bayar Pajak Kendaraan Anda di Samsat Makassar
Baca juga: Jalur Mandiri UIN Alauddin Buka Prodi Baru
Penyediaan infrastruktur air bersih dan sanitasi yang dapat dimanfaatkan bersama memiliki aspek strategis yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan thaharah (bersuci) tapi juga berorientasi pada penguatan umat.
Untuk itu Khalifah Utsman bin Affan pernah membeli sumur dari seorang Yahudi di Madinah yang kemudian diwakafkan untuk kepentingan publik.
Hal yang sama dilakukan juga pada masa Sultan Al-Mansur, khalifah kedua Dinasti Abbasiyah yang membangun sumur-sumur pada jalur perlintasan kafilah dagang.
Tinjauan strategis yang sama juga dilakukan oleh Zubaidah, istri Harun Al-Rasyid dengan membangun proyek raksasa berupa penampungan air dan saluran sepanjang jalan Irak menuju Makkah yang dikenal dengan “Mata Air Zubaidah”.
Pemanfaatan ZISW
Pemerintah cukup optimis mampu mencapai layanan 100% pada tahun 2019 sesuai dengan target RPJMN.
Namun dengan melihat potensi pembiayaan yang ada dan kompleksitas kebutuhan pendanaan untuk infrastruktur strategis lainnya seperti jalan tol, bandara, pelabuhan dan kereta api, tentunya pemerintah kesulitan bila pembiayaan sanitasi dan air bersih yang mencapai Rp 275 triliun sepenuhnya ditanggung oleh APBN dan APBD.
Oleh karena itu pemanfaatan potensi pendanaan umat berbasis zakat infaq sadaqah dan wakaf (ZISW) merupakan skema realistis yang bisa didayagunakan oleh pemerintah untuk meningkatkan layanan sanitasi dan air bersih.
Data aktual penghimpunan zakat, infaq dan sedekah nasional oleh Organisasi Pengumpul Zakat (OPZ) resmi pada tahun 2015 mencapai Rp 3,7 triliun (Outlook Zakat Indonesia 2017), sementara potensi ZIS mencapai Rp 271 triliun (Tempo, 2017).
Skema pembiayaan berbasis ZISW pada dasarnya sangat memungkinkan diterapkan sesuai fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 001/Munas-IX/MUI/2015 tentang pendayagunaan ZISW untuk pembiayaan sanitasi dan air bersih.
MUI merekomendasikan bahwa ZISW dapat didistribusikan untuk menjawab kebutuhan sanitasi dan air bersih masyarakat muslim sepanjang pemanfaatanya untuk kepentingan umum (maslahah ammah) dan kebajikan (al-bir) serta tidak ada kebutuhan mendesak mustahiq yang bersifat langsung.
Untuk mengimplemntasikan fatwa MUI tersebut, dapat mengadopsi pola pembangunan sanitasi dan air bersih berbasis masyarakat yang sukses diterapkan pemerintah.
Formulasi instrumennya dapat memanfaatkan kelembagaan mesjid yang ada pada kawasan sasaran.
Lembaga Amil Zakat sebagai pengelola dana dapat berfungsi sebagai pengawas, sementara ta’mir mesjid dan remaja mesjid dapat menjadi pelaksana programnya.
Untuk mengoptimalisasi tupoksi tersebut, maka MUI dan Kemeterian PUPR harus bersinergi memberikan pendampingan teknis dan mengedukasi stakeholders sehingga distribusi ZISW tepat sasaran dan manfaat.
Pemberdayaan mesjid ini diharapkan dapat merivitalisasi peran sosial mesjid sehingga menjadi titik episentrum menebar kebajikan dan kemaslahatan umat. (*)
Catatan: Tulisan ini telah terbit di halaan Opini Tribun Timur edisi cetak Rabu, 13 Juni 2018