opini
OPINI - Perlindungan Publik dan Penanggulangan Bencana di Indonesia
Ditulis Aidil Afdan Pananrang, Asia Pasific ICT Alliance Award (APICTA) 2017 Nominee dan Presiden Mahasiswa BEM KEMA Telkom University 2015.
Oleh: Aidil Afdan Pananrang
Asia Pasific ICT Alliance Award (APICTA) 2017 Nominee dan Presiden Mahasiswa BEM KEMA Telkom University 2015
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ...”
Kalimat di atas merupakan cuplikan dari pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang termaktub pada alinea ke empat.
Sejatinya pemberian perlindungan kepada rakyat Indonesia merupakan amanat dan cita-cita dari para founding fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Negara yang diamanatkan untuk memegang kendali pemerintahan harus dapat membentuk suatu sistem perlindungan publik yang dapat memberikan kenyamanan dan keamanan kepada seluruh rakyat Indonesia.
Bencana alam pada dasarnya merupakan hal yang bersifat alamiah yang tak mungkin dibendung kehadirannya.
Namun seiring berjalannya waktu, manusia mulai mengenal teknologi sehingga dapat dipergunakan untuk memprediksi datangnya bencana alam dan meminimalisir kerugian yang disebabkan.
BACA JUGA: OPINI - Menyoal Tenaga Kerja Asing
BACA JUGA: OPINI Haris Amrin: Reaksi Umat di Balik Puisi Cadar-Azan
Sistem teknologi telekomunikasi terhadap bencana alam ini dapat digunakan sebelum terjadinya bencana (pre-disaster), saat terjadinya bencana (disaster-event), dan setelah terjadinya bencana (post-disaster).
Indonesia terletak di benua Asia yang berdasarkan data Emergency Event Database (EM-DAT) merupakan benua dengan intensitas bencana tertinggi.
Hal ini berbanding lurus dengan tingginya intensitas terjadinya bencana alam di Indonesia. Setelah benua Asia, disusul oleh benua Amerika dan benua Afrika sebagai tempat kejadian bencana alam paling sering di dunia.
Berdasarkan data United Nations Population Divisions (UNPD), Indonesia merupakan negara yang menduduki posisi ke empat sebagai negara terbesar populasinya di dunia, mencapai 250 juta jiwa (United Nation ESA, 2015).
Dari segi geografis Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak diantara empat lempeng tektonik, yaitu lempeng Benua Asia, Benua Australia, lempeng Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik.
Pada bagian selatan dan timur Indonesia terdapat sabuk vulkanik yang dipenuhi oleh pegunungan vulkanik aktif (BNPB, 2016).
Dengan jumlah populasi yang tinggi, disertai dengan tingginya intensitas terjadinya bencana, sehingga wajar saja jika Indonesia ditetapkan sebagai salah satu negara yang rawan akan bencana alam oleh United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNISDR).
Intensitas Bencana
EM-DAT membagi bencana menjadi dua kategori, yaitu kategori natural disaster dan technological disaster.
Natural disaster merupakan bencana yang terjadi secara alamiah karena faktor alam dan kejadian penyebabnya di luar dari campur-tangan manusia.
Sedangkan Technological disaster merupakan bencana yang diakibatkan oleh manusia itu sendiri atau diistilahkan sebagai bencana man-made.
Berdasarkan data yang dihimpun dari EM-DAT, kejadian bencana alam yang terjadi di Indonesia dalam rentang 1996 hingga 2016, terhitung 263 kejadian bencana alam yang menelan 185.291 korban jiwa dari total 16 juta lebih orang yang terkena dampaknya.
Sehingga menghasilkan total kerugian sebesar $28.323.147.000, yang apabila di kurs kan dalam rupiah mencapai Rp 368,2 triliun (kurs Rp 13.000 per $1).
Berdasarkan intensitas terjadinya, bencana alam yang disebabkan oleh banjir menempati posisi pertama. Diikuti bencana gempa bumi dan bencana kekeringan.
Namun apabila dilihat dari segi korban, maka bencana gempa bumi-lah yang terhitung paling banyak dengan 175.776 korban jiwa.
Hal ini juga dikarenakan gempa bumi merupakan bencana alam yang memicu terjadinya bencana tsunami.
Ketika dilihat dari segi kerugian secara ekonomi, kejadian gempa bumi juga peringkat pertama, kemudian diikuti dengan kebakaran liar lalu banjir.
Sistem PPDR
Public Protection and Disaster Relief (PPDR) adalah serangkaian sistem komunikasi perlindungan publik dan penanggulangan bencana yang sangat krusial dalam kehidupan bernegara. Hal ini sangat penting mengingat kaitannya langsung dengan keselamatan dan nyawa masyarakat.
Tanpa adanya sistem PPDR yang baik dan responsif, akan menimbulkan kerugian yang besar baik kepada negara maupun orang-orang yang berada di dalamnya.
Semakin baik sistem PPDR yang dimiliki, akan semakin mereduksi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana.
Begitupun sebaliknya, apabila kita tidak memiliki sistem PPDR yang baik maka kita akan menanggung kerugian yang lebih besar dari setiap insiden bencana yang terjadi.
Bahkan berdasarkan laporan Prof John Ure (Ure, 2013), kerugian akibat buruknya sistem PPDR di Indonesia mencapai $125,569 miliar atau sekitar Rp 1.632 triliun.
Mencapai kerugian kurang lebih Rp 6,6 juta per kapita (2000-2011). Angka kerugian ini merupakan yang terbesar jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia.
Alokasi anggaran pemerintah untuk membangun sistem PPDR yang mumpuni semestinya tidak dilihat sebagai biaya yang membebani, tapi sebagai sebuah investasi di masa yang akan datang karena dapat mengurangi kerugian negara secara materiil.
Penanganan bencana harus memanfaatkan dan menyesuaikan perkembangan pesat dari internet, smartphone, dan Internet of Things (IoT).
Apalagi memasuki erarevolusi industri ke empat, segala bentuk inovasi berbentuk daya cipta teknologi dapat dikreasikan dan dimanfaatkan dalam berbagai sektor, termasuk mitigasi bencana.
Meskipun investasi terhadap pembangunan PPDR bukan sektor komersil yang mendapat revenue secara langsung, namun keselamatan penduduk dan juga reduksi potensi kerugian bencana tentu merupakan sebuah keuntungan bagi negara yang layak untuk direalisasikan. (*)
Catatan: Tulisan di atas telah dimuat di Rubrik Opini koran Tribun Timur edisi cetak Selasa, 17 April 2018