opini
OPINI - Menyoal Tenaga Kerja Asing
Ketersediaan dana yang sangat terbatas berhadapan dengan tuntutan pembangunan yang sangat mendesak.
Oleh: Sunardi
Peneliti Perburuhan di Law & Democracy Institute Makassar - Alumni S1 FISIP Unhas dan S2 FISIP UGM
Kebijakan pemerintah tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA) menuai polemik. Seperti diketahui pada akhir Maret 2018, Presiden Jokowi menandatangi PP No 20/2018.
PP ini sebagai payung hukum penggunaan TKA di Indonesia. Jika tidak ada hambatan, PP ini akan diterapkan di Indonesia tiga bulan setelah disahkan atau mulai berlaku terhitung dibulan Juni 2018.
Seiring dengan itu, gelombang protes pun terus disuarakan sebagai respon terhadap pengesahan PP tersebut.
Protes datang dari kalangan pemerhati dan serikat buruh di Indonesia. Salah satunya Konfederasi Serikat Buruh Indonesia (KSPI) dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK).
Pada dasarnya, mereka menolak PP yang disahkan oleh pemerintah dengan alasan bahwa PP ini dianggap mengancam tenaga kerja lokal di Indonesia.
Pasalnya, PP ini akan mempermudah masuknya TKA ke Indonesia yang berefek domino pada persaingan pekerja di tingkat lokal.
BACA JUGA: OPINI Guru SMP Muhammadiyah Belawa: Mendongeng di Era Digital
BACA JUGA: OPINI Pengurus MUI Enrekang: Memburu Jabatan, Bolehkah?
Sementara pada saat yang sama, ketersediaan tenaga kerja di Indonesia masih sangat besar.
Data terakhir yang dirilis oleh BPS, menunjukan jumlah pengagguran di Indonesia diatas angka 7 juta (BPS, 2018).
Sehingga, bagi kubu yang melancarkan protes menganggap dengan PP ini persaingan kerja di Indonesia akan semakin ketat, yang berpotensi menambah jumlah pengangguran di Indonesia.
Sementara itu, di kubu sebelah justru mempersoalkan sikap politik KSPI dalam menyikapi PP No.20/2018. Kubu ini datang dari pemerhati dan serikat buruh yang berafiliasi dengan Serikat Buruh Merah.
Bagi kubu ini, KSPI sebagai salah satu konfederasi terbesar di Indonesia sama sekali menunjukan pengingkarannya terhadap ideologi buruh dengan membenturkan persoalan peruburuhan pada klaster etnisitas.
Karenanya yang mereka persoalkan antara buruh asing dengan buruh lokal. Bagi kubu ini, semestinya KSPI melihat persoalan perburuhan harus dengan perspektif yang lebih ideologis bahwa apapun yang namanya buruh mempunyai satu kesamaan nasib.