Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pegiat HAM di Makassar: Perlu Dibentuk Badan Independen Baru untuk Atur Konten Internet

Mereka juga menilai UU ITE hasil revisi yang berlaku sejak 28 November 2016 lalu mendesak pula dikoreksi karena tak sesuai semangat HAM.

Penulis: Jumadi Mappanganro | Editor: Jumadi Mappanganro
Peserta diskusi kelompok terfokus yang digelar Elsam di Hotel Santika, Makassar, Kamis (24/8/2017) 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Sejumlah aktivis perwakilan organisasi masyarakat sipil, jurnalis dan perwakilan warganet di Kota Makassar menilai perlu dibentuk badan independen baru untuk mengatur konten internet di Indonesia.

Mereka juga menilai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hasil revisi yang berlaku sejak 28 November 2016 lalu mendesak pula dikoreksi lagi.

Alasannya, beberapa pasal dalam UU ini dinilai masih tak sejalan dengan semangat melindungi kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM).

Hal tersebut mengemuka pada focus group discussion (FGD) yang digelar Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Kamis (24/8/2017). Bertempat di Hotel Santika, Jl Sultan Hasanuddin, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.

Sebanyak 10 informan dari latarbelakang beragam terlibat dalam diskusi kelompok terfokus ini.

Peserta diskusi kelompok terfokus yang digelar Elsam di Hotel Santika, Makassar, Kamis (24/8/2017)
Peserta diskusi kelompok terfokus yang digelar Elsam di Hotel Santika, Makassar, Kamis (24/8/2017) ()

Di antaranya komisioner Komisi Informasi Provinsi Sulsel Dr Aswar Hasan dan dosen Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Kota Makassar Dr Fadli Andi Natsif.

Hadir pula Koordinator Relawan Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Upi Asmaradhana dan Direktur LBH Makassar Haswandy Andy Mas.

Juga hadir Direktur LBH Pers Makassar Fajriani Langgeng, Kasi Pelayan Informasi Publik Diskominfo Kota Makassar Hamzah Bakrie Muhammad, jurnalis dan beberapa lainnya.

Pada FGD ini terungkap bahwa pada kategori konten offline, seluruh mekanisme pengawasan dan pengendaliannya dilakukan melalui sebuah badan pengawas independen, dengan prosedur yang sudah dirinci oleh Undang-Undang.

BACA JUGA: Elsam Gelar FGD di Makassar, Ini yang Dibahas

Sedangkan untuk konten online, selain belum jelasnya definisi dan cakupan ruang lingkup konten online, wewenang pengawasan dan pengendaliannya mutlak masih menjadi wewenang pemerintah.

Situasi ini diperparah dengan tidak adanya aturan yang detail mengenai prosedur dalam pengawasannya serta tidak adanya batasan kategori yang jelas mengenai konten-konten yang dapat dibatasi aksesnya serta alasan pembatasannya.

Sehingga memang perlu dibentuk badan independen baru untuk mengatur konten internet di Indonesia.

“Dengan catatan berisi perwakilan masyarakat sipil dan lintas sektor serta melalui rekrutmen yang transparan,” kata Haswandi.

Menurut Fadli, alasan perlunya UU ITE ini direvisi dikarena adanya pasal pemidanaan sebagai diatur Pasal 27 ayat (3).

Inti pasal ini berisi ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik yakni paling lama 4 (tahun) dan/atau denda dari paling banyak Rp 750 juta.

Ancaman pasal ini memang turun dari 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 1 M menjadi Rp 750 juta, tapi tetap saja berisi pidana.

“Padahal kalau di KUHP, kasus ini masuk tindak pidana ringan,” katanya.

Selain Pasal 27 ayat 3, juga patut diubah adalah Pasal 40 yang isinya memberi pemerintah kewenangan melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik untuk melakukan pemutusan akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Padahal mestinya, sebelum melakukan pembatasan atau pemutusan akses, disarankan melalui terlebih dahulu penilaian badan independen baru yang mengatur dan mengawasi konten internet.

Selanjutnya melalui proses yang diatur kemudian oleh UU.

“Jadi menurut saya, Pasal 27 dan Pasal 40 ini harus dihapus,” papar Fadli.

Sementara Fajriani menekankan perlunya mempertimbangkan nilai-nilai kultur lokal dalam penyusunan revisi UU ITE.

Sedangkan Upi Asmaradhana mengingatkan, walau badan independen baru tersebut terbentuk, semua keputusan finalnya tetap melalui jalur pengadilan.

Peneliti dari Elsam, Blandina Lintang Setianti, menjelaskan latarbelakang dilakukannya studi ini.

Di antaranya karena belum seragamnya prosedur penanganan terhadap konten internet di Indonesia sejauh ini.

FGD ini dilakukan sebagai bagian dari studi mengenai Lanskap Kebijakan Tata Kelola Konten Internet di Indonesia yang sedang dilakukan Elsam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved