Pilpres Perancis: Antara Kiri Tengah dan Ekstrim Kanan (2-selesai)
Tokoh Islam senior Dalil Baubakeur, Imam Besar Masjid Raya Paris mengimbau agar umat Islam yang sekitar 5 juta secara massif memiliH Macron
Tetapi Thomas Guènolè dari Institute Science PO yang berbasis di Paris secara sarkastik-hiperbol begitu yakin siapa yang akan menduduki istana Elysèè. Dalam sebuah wawancara dengan CNBC, Guènolè mengatakan, “I want to perfectly clear for foreigners and for investors in particular, a goat literally a goat at the second round against Marine Le Pen, the goat is elected”. Guènolè begitu yakin kalau diputaran kedua, meski seekor kambing yang berhadapan dengan Le Pen, maka kambingnya yang akan terpilih. Sungguh terlalu!
Sambil menantikan hasil pilpres Prancis putaran kedua tanggal 7 Mei mendatang, saya menyaksikan betapa debat-debat pilpres di negara ini benar-benar diwarnai oleh ideologi politik yang tegas dan lugas, serta program kerja yang jelas. Isu-isu personal murahan tidak menjadi bagian dari politisasi untuk menjatuhkan lawan. Mereka berargumentasi berdasarkan data dan fakta di media mainstream maupun media sosial.
Saya tidak pernah melihat baliho dipasang di pinggir jalan atau pun di papan reklame. Para kandidat memilih mendekati pemilih secara personal lewat surat pribadi, kampanye door to door atau menempel poster di tempat yang telah ditentukan. Kampanyenya cukup seru di stasiun TV dan media sosial, tetapi situasinya begitu adem di jalan-jalan, di pasar, di perkampungan atau pusat perbelanjaan. Mereka meyakinkan pemilih tanpa pengerahan massa dan pawai politik; tanpa baju kaos dan tanpa pembagian sembako.
Meski demikian, terdapat kesamaan utama apa yang dihadapi oleh Indonesia dan Perancis. Kedua negara menghadapi masalah besar yang sama; ketimpangan sosial yang semakin lebar dan merebaknya politik ekstrimisme. Bedanya, ekstrimisme Perancis menjadikan Islam, imigran dan globalisasi sebagai musuh utamanya, sementara di Indonesia adalah Islam garis keras yang masih mencari formatnya yang solid. Namanya ekstrimisme, keduanya sam-sama berbahaya. Mereka antiperbedaan, anti pluralisme; gerakan yang membingungkan, karena melawan takdirnya sendiri.(*)
Paris, 2 Mei 2017.