Merdeka atau Merana
Berlomba-lomba berebut jabatan, saling menjatuhkan, janji demi janji diberi pada saat menjelang pemilu, materi dan tenaga rela dikorbankan habis-habi
NEGERI kita ini katanya merdeka, tetapi kenyataannya masih terjajah.
Terjajah oleh pemimpin yang terkesan berjiwa penolong, namun sejatinya adalah penodong.
Berlomba-lomba berebut jabatan, saling menjatuhkan, janji demi janji diberi pada saat menjelang pemilu, materi dan tenaga rela dikorbankan habis-habisan.
Segala-galanya atas nama rakyat.
Yang benar tulus sudah tak dapat dibedakan.
Padahal masa depan negeri dilihat dari pemimpin-pemimpinnya.
Kesimpangsiuran informasi terkait KTP elektronik atau e-KTP saat ini menimbulkan banyak keresahan dikalangan masyarakat.
e-KTP menjadi hal yang sangat penting dalam segala hal mulai dari perizinan, perbankan, pembuatan SIM dan passport mesti ada KTP, wajar jika menjadi suatu masalah jika proses pembuatannya lama.
Lantas apa yang menyebabkan terhambatnya pembuatan e-KTP tersebut?
Padahal, Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo menyampaikan bahwa proses e-KTP sebenarnya tidak lebih dari satu hari.
Kalau yang menjadi persoalan adalah biaya, itu rasanya mustahil karena proyek e-KTP ini dimulai pada tahun 2011-2012 dimana Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana digelontorkan anggaran proyek mencapai Rp 5,9 triliun.
Nilai yang cukup besar untuk memuluskan proyek e-KTP tersebut.
Namun, kenyataan hingga saat ini penyediaan kartu tersebut tak kunjung terwujud.
Dari hal tersebut sebenarnya kita sudah dapat melihat adanya indikasi pelanggaran.
Dari nilai anggaran yang mencapai Rp 5,9 triliun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dana yang dikorupsi mencapai Rp 2,3 triliun.
Sebanyak 34 persen di antaranya diduga mengalir kepada sejumlah pejabat pada Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR RI periode 2009-2014.
Kerugian yang dialami Negara yang mencapai Rp 2,3 triliun ini tidak bisa dipungkiri menjadi kasus dugaan korupsi terbesar.
Sejumlah nama yang diduga menerima aliran dana dari proses pengadaan e-KTP mulai angkat suara.
Bantahan demi bantahan jelas mendominasi.
Salah satu program mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono saat kampanye calon Presiden RI pada tahun 2004 ialah pemberantasan korupsi.
Oleh karena itu dibentuk Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK, Pengadilan dan Hakim Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) dan berbagai institusi atau aliansi untuk memberantas korupsi.
Namun, tetap tetap saja banyak merajalela menggorogoti hampir semua persendian pemerintahan dari pusat sampai ke pedesaan, tidak terkecuali instansi yang mengemban misi kejujuran dan kebenaran dengan slogan “Ikhlas Beramal”.
Yang menjadi pertanyaan besar kita adalah “salahnya di mana?”.
Mengapa peraturan yang seharusnya menjadi acuan untuk membagun negara justru memberi peluang korupsi semakin berkembang?
Dalam menjalankan fungsi atau tugasnya seorang pejabat dipengaruhi oleh sistem atau aturan yang digunakan dan moral pejabat itu sendiri.
Ketika menjalankan suatu sistem atau aturan yang buruk, seseorang mencalonkan diri sebagai wakil rakyat atau kandidat kepala daerah yang awalnya tidak berniat mengambil yang bukan haknya.
Ternyata saat duduk di kursi empuk dan posisi strategis dan melihat ada banyak potensi atau peluang dari sistem peraturan itu untuk menyalahgunakan wewenang dengan mempermainkan anggaran negara untuk memperkaya diri.
Harapan masyarakat untuk memberantas pelaku korupsi di negeri ini rasanya untuk saat ini masih sulit terwujud pasalnya korupsi telah begitu berurat berakar, sementara sistem pengendalian begitu lemah.
Banyak koruptor yang telah divonis hukuman penjara pada tingkat pengadilannegeri dan tidak sedikit juga yang bebas dan tidak dipenjara karena diberi kesempatan untuk menyeleweng dari hukuman padahal sudah benar terbukti bersalah.
Sanksi yang diberikan juga cukup ringan sehingga tidak memberi efek jera bagi pelaku yang terjadi wajar jika tindak korupsi semakin berkembang dan orang-orang semakin berlomba-lomba menduduki jabatan publik.
Sadar atau tidak perkataan Rasululah akhirnya benar terjadi.
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita.” (HR Bukhari).
Karena sistem yang ada saat ini justru menjadi faktor muncul dan langgengnya korupsi, maka pemberantasan korupsi hanya dapat dilakukan menggunakan sistem lain yaitu dengan syariah Islam.
Dengan dasar akidah Islam akan melahirkan kesadaran bahwa segala aktivitas senantiasa diawasi oleh Allah dan melahirkan ketakwaan pada diri politisi, pejabat, aparat, pegawai dan masyarakat.
Selain itu, hukum syariat islam juga merupakan hukum yang tegas.
Semua harta pejabat dan pegawai dicatat. Jika ada kelebihan yang tak wajar, yang bersangkutan wajib membuktikan hartanya diperoleh secara legal.
Jumlah yang tidak bisa dibuktikan, bisa disita seluruhnya.
Dan yang terbukti akan diberi hukuman yang tegas berupa hukuman penjara, cambuk, pengasingan hingga hukuman mati setelah mempertimbangkan dampak dan kerugian Negara.
Sistem Islam semuanya berada dalam satu kepemimpinan khalifah.
Keadaan negara kedepannya bergantung dari pribadi masing-masing mau ikut berjuang atau tidak untuk mengakkan syariah dan khilafah.
Bukankah menjadi pemain lebih baik daripada hanya sekedar menjadi penonton?(*)
Kasmiani
*Penulis adalah mahasiswi Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Muslim Indonesia dan penggiat lembaga dakwah kampus