Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Laporan Langsung dari Papua

Marind, Suku Asli Merauke yang Kian Terpinggirkan

Bahkan, di tengah pusat kota Merauke terdapat perkampungan kumuh yang didiami mayoritas suku Marind

Penulis: Anita Kusuma Wardana | Editor: Ina Maharani
TRIBUN TIMUR/ANITA K WARDANA
pemukiman kumuh yang berada tak jauh dari pusat Kota Merauke. 

Laporan Wartawan Tribun Timur, Anita Wardana

TRIBUN-TIMUR.COM, MERAUKE- Provinsi Papua didiami sejumlah suku, seperti Asmat, Dani, Mappi dan Marind. Marind adalah suku asli di Merauke.

Jumlah mereka tak banyak hanya sekitar 25 persen dari keseluruhan populasi di Merauke. Dari data per 31 Desember 2015, jumlah penduduk di Merauke sebanyak 263.664 jiwa yang tersebar di 20 distrik.

Meskipun sebagai suku asli, suku Marind seolah terpinggirkan dengan kehadiran para pendatang, baik dari Pulau Jawa ataupun Pulau Sulawesi. Mereka tak menjadi tuan di tanah mereka sendiri.

Hal ini juga diakui salah satu tokoh Suku Marind, Hengky Ndike.

Ketua Komisi C DPRD Merauke ini mengungkapkan, hal tersebut sebagai akibat program transmigrasi dan urbanisasi.

"Kita menjadi marginal, menjadi penonton akibat program transmigrasi maupun urbanisasi yang membuat ruang bagi kami menjadi lebih tertutup,"katanya saat ditemui Senin (30/1/2017).

"Apalagi prinsip kami adalah meramu dengan mengambil apa yang ada di alam. Tapi, sumber daya alam itu semakin hilang karena investor,"tambahnya.

Bahkan, di tengah pusat kota Merauke terdapat perkampungan kumuh yang didiami mayoritas suku Marind seperti di daerah Samkai dan Onggatmit.

Mereka tinggal di gubuk kayu. Bahkan, dengan ruang yang tidak terlalu besar ditinggali hingga empat kepala keluarga.

Hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan antara suku asli dengan pendatang. Sehari-hari, ada dari mereka yang bekerja sebagai buruh kasar atau pemulung.

Hengky pun berharap pemerintah bisa membuat ekonomi kerakyatan yang bisa membuat perekonomian mereka menjadi lebih baik dan bisa hidup lebih layak. Tentunya, lewat pendidikan dan pemberdayaan semua hal itu bisa diwujudkan.

Menurutnya, DPRD Merauke telah menganggarkan 20 persen dana APBD yang sekitar Rp 2 Triliun untuk pendidikan.

Namun, ia melihat anggaran tersebut lebih banyak mengakomodasi warga Merauke yang merupakan pendatang, bukan untuk suku Marind.

Ia pun menilai pemerintah harus menyediakan anggaran khusus untuk pemberdayaan suku asli di Merauke. Menurunya, anggaran tersebut bisa diambil dari dana otonomi khusus (otsus) yang diberikan pemerintah pusat untuk Merauke.

"Di Merauke ini cukup besar sekitar Rp 137 Miliar. Namun, hingga kini tidak terlihat sentuhan otsus untuk kepentingan putra daerah,"jelasnya.

Kian terpinggirnya suku Marind di Merauke juga diakui tokoh masyarakat suku Marind lainnya, Leonardua Mahuze.

Leo, sapaan akrabnya adalah Ketua Yayasan Santo Antonius. Ia merupakan mantan Ketua DPRD Merauke.

Salah satu faktor yang turut berpengaruh, yakni pendidikan. Menurutnya, motivasi anak-anak suku Marind untuk belajar masih rendah.

Mereka lebih memilih bekerja mencari makanan hingga masuk ke hutan dibanding pergi ke sekolah.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap masa depan anak Marind, Yayasan Santo Antoinus yang dikelola Pak Leo mendirikan dua sekolah berbasis pendidikan vokasi, yaitu SMK 1 Antonius dan Politeknik Santo Antonius untuk bidang pertanian.

Namun, ternyata sekolah-sekolah tersebut lebih diminati anak-anak dari suku lain, seperti Asmat dan Mappi yang tinggal di Merauke.

"Mereka sempat sekolah, tapi tidak lama mereka kembali ke kampung. Mungkin karena mereka pikir untuk apa sekolah kalau bisa cari makan dari alam. Jadi motivasi mereka untuk sekolah memang masih kurang,"jelasnya.

Budaya yang Tergerus

Leo juga mengungkapkan dampak dari banyaknya pendatang ke Merauke, membuat budaya dan identitas suku Marind perlahan-lahan berkurang.

Pertumbuhan suku Marind juga lambat dibading jumlah pendatang yang datang ke Merauke. Belum diketahui pasti penyebabnya, entah karena angka kematian ibu dan anak yang meningkat, gizi buruk atau penyebab lainnya.

Lembaga Masyarakat Adat (LMA) yang seharusnya menjadi panutan dan payung untuk semua kepentingan pun dipertanyakan lagi perannya.

"Ada banyak intervensi. Jadi, peran mereka sudah tidak sekuat dulu,"kata Ketua Partai Perindo Merauke ini.

Ia pun mengharapkan pemerintah memberikan perhatian khusus kepada suku Marind. Selain itu, penguatan Lembaga Masyarakat Adat (LMA) juga perlu dilakukan.

Agar suku Marind bisa kembali ke jiwanya, yakni sebagai Ahimha atau manusia sejati.

"Saya percaya mereka bisa bersaing dengan suku-suku lain. Jika mereka diberdayakan,"ujar Pak Leo.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved