Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Muhammadiyah dan Misi Peradaban: Membangun Prestasi dengan Fondasi Akhlak

Muhammadiyah memberi pesan kuat bahwa kemajuan bangsa harus bertumpu pada karakter, bukan hanya kompetensi teknis

Editor: Muh. Abdiwan
TRIBUN-TIMUR.COM/MUHAMMAD ABDIWAN
Hijrah Basri - Mahasiswa Pasca Sarjana. Universitas Muhammadiyah Malang 

Oleh : Hijrah Basri

Kepala Sekolah SMAS Muhammadiyah Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Indonesia Emas 2045 bukan sekadar slogan besar yang diulang dalam berbagai forum strategis. Ia adalah proyek peradaban, sebuah cita-cita kolektif yang hanya dapat terwujud ketika bangsa ini berhasil menyiapkan generasi unggul secara intelektual, kreatif, dan spiritual. Dalam konteks inilah, pendidikan Muhammadiyah kembali menegaskan perannya sebagai pionir perubahan. Melalui tema “Berprestasi dengan Akhlak Mulia, Berkarya untuk Indonesia Emas 2045”, Muhammadiyah memberi pesan kuat bahwa kemajuan bangsa harus bertumpu pada karakter, bukan hanya kompetensi teknis.

Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi yang bergerak sangat cepat, pendidikan tidak lagi cukup hanya mengejar nilai dan prestasi akademik. Perubahan teknologi hadir dengan segala kemudahan, namun juga membawa tantangan baru yang menguji kualitas karakter manusia. Kita melihat generasi muda yang mampu mengoperasikan perangkat digital sejak usia dini, yang fasih menavigasi informasi dalam hitungan detik, dan yang kreatif menciptakan konten di berbagai platform. Namun di balik semua kecanggihan itu, muncul gejala yang tidak bisa kita abaikan: melemahnya integritas, menurunnya empati, serta tergerusnya kesadaran moral dalam berinteraksi di dunia nyata maupun dunia maya. Kecerdasan teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan hati.

Tantangan inilah yang menuntut dunia pendidikan untuk mengambil langkah lebih berani dan lebih visioner. Kita tidak boleh puas hanya dengan mencetak siswa yang pintar mengerjakan soal, unggul dalam perlombaan, atau berhasil menembus universitas ternama. Pekerjaan besar kita adalah menyiapkan generasi yang tidak hanya smart students, tetapi good and responsible humans. Mereka yang tidak hanya mampu bersaing, tetapi juga mampu menjaga diri, menghormati sesama, dan bertindak atas dasar nilai. Mereka yang berani berkata benar di tengah budaya ketidakjujuran, yang disiplin di tengah kemudahan akses instan, dan yang peduli di tengah individualisme modern.

Di sinilah akhlak mulia menjadi fondasi yang tidak bisa dinegosiasikan. Akhlak bukan sekadar pelengkap, bukan ornamen, dan bukan pula slogan dalam upacara. Akhlak adalah inti dari pembentukan manusia seutuhnya. Ia adalah kompas moral yang menuntun seseorang ketika tidak ada yang melihat, pilar kekuatan saat menghadapi tekanan, dan cahaya yang memandu dalam mengambil keputusan yang sulit. Ketika pendidikan menempatkan akhlak sebagai pusatnya, maka kita sedang menanam benih generasi Indonesia yang tidak hanya unggul secara intelektual, tetapi juga tangguh secara spiritual dan sosial—sebuah generasi yang siap membawa bangsa ini menuju Indonesia Emas 2045.

Muhammadiyah sejak awal berdiri telah memadukan ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai Islam berkemajuan. Namun, menuju 2045, tugas ini perlu ditingkatkan dalam kerangka transformasi pendidikan. Pertama, sekolah-sekolah Muhammadiyah harus memastikan bahwa pendidikan karakter tidak berhenti pada slogan atau seremonial, tetapi menembus strategi pembelajaran. Guru bukan hanya pengajar, tetapi teladan nilai. Kurikulum bukan hanya daftar materi, tetapi ruang pembiasaan sikap. Lingkungan sekolah bukan hanya tempat belajar, tetapi ekosistem pembentuk integritas. Kedua, pembelajaran harus diarahkan pada pengalaman bermakna. Model seperti Problem-Based Learning, proyek sosial, literasi digital yang beretika, dan kegiatan kepedulian masyarakat dapat mempertemukan kecerdasan akademik dengan praktik akhlak dalam kehidupan nyata. Generasi yang dibina melalui pengalaman langsung akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli, kritis, dan siap mengambil peran dalam tantangan nasional. Ketiga, transformasi pendidikan Muhammadiyah juga harus menyasar penguatan spiritualitas yang membumi. Akhlak mulia tidak tumbuh di ruang kosong, tetapi berkembang melalui keteladanan, pemahaman agama yang rasional, dan budaya sekolah yang saling menghormati. Indonesia Emas 2045 membutuhkan pemimpin muda yang tidak hanya cerdas mengambil keputusan, tetapi juga jujur, amanah, adil, dan rendah hati.

Pada akhirnya, kontribusi Muhammadiyah melalui pendidikan berakhlak mulia adalah jawaban atas krisis karakter yang sering kita keluhkan. Namun perjalanan ini tidak akan pernah berhasil tanpa komitmen kuat dari para guru, pimpinan sekolah, dan seluruh pengembang pendidikan. Mereka adalah pilar utama yang menerjemahkan nilai menjadi tindakan, visi menjadi budaya, dan akhlak menjadi pengalaman nyata di sekolah. Ketika siswa dibiasakan untuk berprestasi tanpa meninggalkan etika; ketika guru menanamkan nilai tanpa menggurui; ketika sekolah menjadi pusat peradaban kecil yang menebarkan kebaikan—maka Indonesia sedang bergerak menuju masa depannya.

Karena itu, para pendidik perlu mengambil peran sebagai teladan yang hidup. Komitmen mereka bukan hanya tampak dalam rencana pembelajaran, tetapi terwujud dalam kesabaran, kejujuran, kedisiplinan, serta ketulusan dalam membimbing setiap anak. Mereka harus berani menolak praktik instan yang merusak karakter, dan memilih jalan yang benar meski lebih panjang. Para pengembang pendidikan pun dituntut untuk merancang kebijakan dan program yang tidak hanya menekankan kecakapan kognitif, tetapi juga mengakar pada pembentukan budi pekerti. Ketika setiap kebijakan berpihak pada karakter, setiap inovasi menguatkan nilai, dan setiap kegiatan pembelajaran memuliakan akhlak—maka ekosistem pendidikan Muhammadiyah akan menjadi model peradaban bagi bangsa.

Inilah saatnya bagi seluruh pendidik untuk memperbarui komitmen: membimbing dengan hati, mengajar dengan keteladanan, dan memimpin dengan integritas. Dengan semangat kolektif ini, kita tidak hanya mencetak generasi yang cerdas, tetapi juga membangun manusia yang penuh adab, siap membawa Indonesia melangkah mantap menuju Indonesia Emas 2045. Namun, komitmen tersebut harus dibarengi dengan penerapan pembelajaran mendalam—sebuah pendekatan yang tidak berhenti pada hafalan atau capaian permukaan, tetapi menuntun siswa untuk memahami makna, menghubungkan konsep, dan membentuk karakter melalui proses refleksi.

Pembelajaran mendalam menempatkan siswa sebagai subjek yang aktif, kritis, dan mampu mengaitkan ilmu dengan kehidupan nyata. Dalam proses ini, akhlak tidak diajarkan sebagai teori moral, tetapi dihadirkan dalam pengalaman nyata melalui kolaborasi, pemecahan masalah, diskusi bernilai, dan proyek-proyek kemanusiaan. Guru berperan sebagai fasilitator yang menghidupkan dialog, bukan sekadar pemberi instruksi; sebagai pembangun lingkungan belajar yang menumbuhkan rasa ingin tahu, bukan sekadar penjaga disiplin. Dengan pembelajaran mendalam, setiap kegiatan di kelas menjadi ruang formasi karakter. Siswa tidak hanya belajar tentang kejujuran, tetapi mempraktikkannya dalam kerja kelompok; tidak hanya memahami pentingnya tanggung jawab, tetapi menghayatinya saat menyelesaikan proyek; tidak hanya mengetahui teori empati, tetapi merasakannya ketika terjun membantu sesama. Di sinilah nilai dan ilmu berpadu, membentuk pribadi yang utuh.Ketika pendidik menerapkan pembelajaran mendalam secara konsisten, mereka sebenarnya sedang menyiapkan generasi yang tidak hanya unggul dalam pengetahuan, tetapi juga matang dalam kebijaksanaan. Dengan cara inilah pendidikan Muhammadiyah dapat menjadi mercusuar peradaban—menghasilkan lulusan yang berdaya saing global, berjiwa sosial, dan berakhlak mulia sebagai fondasi kokoh menuju Indonesia Emas 2045.

Indonesia Emas 2045 bukan tentang gedung pencakar langit atau kecanggihan teknologi semata, tetapi tentang manusianya. Sebuah bangsa tidak akan pernah benar-benar maju jika hanya bangga pada infrastruktur megah tanpa membangun karakter warganya. Kemajuan fisik memang penting, namun tidak akan bertahan lama tanpa fondasi moral yang kuat. Sebab pada akhirnya, yang menggerakkan sejarah bukanlah mesin atau algoritma, tetapi manusia yang memiliki hati, akal, dan akhlak. Maka Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar generasi yang cerdas secara teknis; Indonesia membutuhkan insan yang berintegritas, mampu memimpin dengan kebijaksanaan, dan siap berkolaborasi demi kemanusiaan.Dan manusia unggul seperti itu hanya dapat lahir dari pendidikan yang memuliakan akhlak. Pendidikan yang tidak sekadar mengajar, tetapi membimbing. Pendidikan yang tidak hanya men transfer pengetahuan, tetapi menanamkan nilai, menumbuhkan empati, dan mengasah ketangguhan moral. Pendidikan yang menghargai setiap peserta didik sebagai pribadi yang memiliki potensi kebaikan, bukan sekadar angka di rapor atau peringkat dalam kompetisi. Inilah esensi pendidikan berkemajuan yang sejak awal dibangun oleh Muhammadiyah—sebuah warisan yang terus relevan hingga hari ini.

Inilah arah baru yang ditawarkan Muhammadiyah: membangun bangsa besar melalui nilai-nilai luhur, ilmu yang mencerahkan, dan karya nyata yang melampaui zaman. Muhammadiyah mengingatkan bahwa modernitas sejati bukanlah meniru dunia luar tanpa kritis, melainkan membangun peradaban sendiri yang berakar pada moralitas Islam dan berpuncak pada kemajuan universal. Nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, dan kasih sayang bukan hanya ajaran agama, tetapi fondasi bagi bangsa kuat. Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah mampu menghadirkan kombinasi antara ilmu pengetahuan, spiritualitas, dan karakter, maka lahirlah generasi yang tidak hanya siap bersaing di dunia global, tetapi juga membawa misi peradaban: memajukan negeri dengan hati yang bersih dan karya yang bermakna.

Jika arah ini dijaga dengan konsisten, maka 2045 bukan sekadar harapan, tetapi kenyataan—Indonesia yang maju bukan hanya karena teknologinya, tetapi karena manusianya yang mulia. Pada akhirnya, seluruh gagasan tentang Indonesia Emas 2045 bermuara pada satu kesadaran mendasar: bangsa ini hanya dapat melompat jauh ke depan apabila pendidikan mampu melahirkan manusia yang unggul dalam akhlak, kuat dalam karakter, dan cerdas dalam ilmu pengetahuan. Teknologi, inovasi, dan pembangunan fisik memang penting, tetapi semuanya tidak akan memiliki makna tanpa adanya generasi yang jujur, beretika, visioner, dan mampu menjaga martabat kemanusiaan. Di sinilah pendidikan Muhammadiyah menunjukkan relevansinya sebagai kekuatan moral dan intelektual bagi bangsa. Melalui pendekatan pembelajaran yang memuliakan akhlak, mencerahkan pikiran, dan membangun pengalaman belajar yang reflektif serta mendalam, Muhammadiyah menawarkan arah baru bagi transformasi pendidikan nasional. Akhlak mulia bukan lagi sekadar materi tambahan, melainkan jiwa dari setiap proses belajar. Guru tidak hanya menjadi penyampai materi, tetapi hadir sebagai teladan yang memancarkan nilai. Sekolah tidak sebatas ruang kelas, tetapi ekosistem peradaban yang menumbuhkan disiplin, empati, tanggung jawab, dan cinta ilmu.

Dengan strategi ini, pendidikan tidak hanya mencetak siswa berprestasi, tetapi membentuk manusia seutuhnya—pribadi yang mampu berpikir kritis namun tetap rendah hati, mahir berteknologi namun tetap menjaga etika, serta berdaya saing global namun tidak kehilangan identitas spiritual dan kebangsaan. Generasi seperti inilah yang akan memimpin Indonesia memasuki 2045 dengan penuh percaya diri.Kesuksesan menuju Indonesia Emas bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi komitmen kolektif seluruh pendidik, sekolah, dan masyarakat. Ketika nilai-nilai luhur dijadikan pedoman, ketika ilmu menjadi cahaya, dan ketika akhlak menjadi kekuatan utama pendidikan, maka bangsa ini sedang menapaki jalan terang menuju masa depan. Namun perjalanan ini membutuhkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat, termasuk keluarga besar Muhammadiyah beserta Ortom-Ortomnya dan Aisyiyah yang selama ini menjadi garda terdepan gerakan pembaruan.

Peran Ortom Muhammadiyah—seperti Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), serta Tapak Suci—menjadi sangat penting dalam membentuk karakter generasi muda di luar lingkungan sekolah. Mereka hadir sebagai ruang kaderisasi yang menanamkan kepemimpinan, kepekaan sosial, disiplin, dan semangat berfastabiqul khairat. Melalui aktivitas kreatif, dakwah, dan karya sosial, Ortom-Ortom ini mendidik anak muda untuk menjadi pelopor perubahan dan teladan moral di tengah masyarakat. Sementara itu, Aisyiyah memainkan peran strategis dalam memperkuat peradaban yang berbasis keluarga dan komunitas. Melalui dakwah pemberdayaan perempuan, pendidikan anak usia dini, layanan kesehatan, serta penguatan ekonomi umat, Aisyiyah membentuk fondasi moral dan kesejahteraan yang sangat menentukan kualitas generasi mendatang. Aisyiyah bukan hanya mendampingi keluarga, tetapi membangun ekosistem sosial yang kondusif bagi tumbuhnya akhlak mulia dan kecintaan pada ilmu.

Ketika sekolah-sekolah Muhammadiyah, Ortom-Ortom yang progresif, dan Aisyiyah yang penuh ketulusan bergerak serempak, maka terbentuklah kekuatan besar yang mampu mempercepat terwujudnya Indonesia Emas 2045. Inilah sinergi peradaban yang menjadi keunggulan Muhammadiyah: gerakan yang tidak hanya mengajarkan nilai, tetapi menghidupkannya dalam tindakan nyata. Dengan kerja kolektif seluruh unsur ini, Indonesia akan tumbuh sebagai bangsa yang maju dalam teknologi, kokoh dalam karakter, dan mulia dalam akhlak. Wallahu’alam.

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved