Opini
Dari Tuturan Lisan ke Jejak Digital
Masuk ke babak keaksaraan, manusia beralih ke sistem rekam yang memungkinkan pengetahuan terdokumentasi serta disebarluaskan secara lebih luas.
Oleh: Putri Aulia Mayapada
Mahasiswa Sastra Indonesia UNM
TRIBUN-TIMUR.COM - Kehadiran kelisanan, keaksaraan, dan pergeseran menuju era digital bisa menjadi refleksi penting atas dinamika komunikasi masyarakat diberbagai zaman.
Pada mulanya, manusia menempatkan tradisi tutur dalam kehidupan sehari-hari sebagai sarana membangun hubungan sosial dan merawat warisan pengetahuan.
pengetahuan tidak terpusat pada satu individu, melainkan hidup pada ingatan kolektif komunitas.
Sajak, nyanyian, dongeng bahkan pidato menjadi media utama mempertahankan nilai, sejarah, serta identitas yang diwariskan lintas generasi.
Masuk ke babak keaksaraan, manusia beralih ke sistem rekam yang memungkinkan pengetahuan terdokumentasi serta disebarluaskan secara lebih luas.
Keaksaraan memperkuat logika berpikir, analisis, juga refleksi mendalam.
Salah satu keunggulannya, masyarakat kemudian dapat mewariskan gagasan secara stabil dan sistematis.
Namun, perubahan tersebut tidak pernah benar-benar mengeliminasi tradisi lisan, karena keduanya menghadirkan karakter berbeda dalam membagikan makna maupun membangun ikatan sosial.
Pada tahap selanjutnya, media digital membawa perubahan besar terhadap pola komunikasi.
Era digital sering dianggap sebagai revolusi ketiga dalam sejarah komunikasi manusia setelah kelisanan dan keaksaraan.
Aplikasi jejaring sosial, podcast, serta video daring memungkinkan ekspresi lisan tercatat dan didistribusikan luas.
Perkembangan ini sering disebut kelisanan sekunder, karena ujaran tidak lagi terjadi hanya secara bertatap muka, melainkan direkam, diedit, serta dikemas untuk kebutuhan digital.
Transformasi menuju digital membuka peluang baru sekaligus risiko baru. Komunikasi digital memang meningkatkan akses serta efisiensi, tetapi hubungan antarmanusia terkadang terancam oleh polarisasi opini maupun disinformasi yang mudah menyebar tanpa kontrol.
Dalam format digital, tulisan dan ujaran berpadu serta saling melengkapi. Teks kadang mengadopsi gaya percakapan lisan, sementara narasi verbal sering dikemas dalam bentuk tulisan digital.
Bila menilik dari sisi pendidikan dan kebudayaan, perpaduan kelisanan, keaksaraan dan media digital layak mendapat perhatian khusus.
Di ranah pendidikan, tidak cukup menghadirkan teks atau data saja. Perlu ruang dialog, diskusi, serta interaksi yang menghidupkan proses belajar dan membangun kreativitas.
Nilai kolektif, pengalaman hidup, dan kreativitas dalam bermusyawarah tetap jadi aspek sentral yang seharusnya dijaga.
Pada dasarnya, masyarakat modern harus mampu mengintegrasikan semua medium komunikasi demi membangun ekosistem pengetahuan yang dinamis dan adaptif.
Hanya mengandalkan satu medium tertentu berpotensi memunculkan distorsi makna dan erosi budaya.
Sebaliknya, perpaduan kelisanan, keaksaraan serta digitalisasi melahirkan ruang baru bagi inovasi sekaligus pelestarian nilai-nilai kemanusiaan.
Proses belajar, komunikasi, serta pewarisan pengetahuan seharusnya dipahami sebagai kerja bersama, bukan monopoli satu bentuk ekspresi tertentu saja.
Ketimbang mencari keunggulan mutlak satu medium, seharusnya masyarakat kritis mengembangkan kemampuan berpikir kontekstual yang dialogis.
Pengembangan komunikasi ideal harus tetap memperhatikan konteks budaya, identitas, serta kebutuhan zaman.
Transformasi teknologi, meski menawarkan kecepatan, efisiensi dan daya jangkau luas, tidak boleh menggeser nilai kolektif yang selama ini dijaga melalui budaya dialog serta interaksi langsung.
Berdasarkan refleksi ini, menjaga keseimbangan antara tradisi tutur, tulisan dan media digital merupakan strategi efektif dalam membangun masyarakat kritis serta kreatif.
Identitas manusia selalu lahir dari negosiasi lintas ekspresi, proses interpretasi dan pemaknaan yang berlangsung melalui interaksi, diskusi, maupun pewarisan pengalaman.
Dunia digital, bila dimanfaatkan dengan bijak, tidak menjadi ancaman bagi tradisi lisan, melainkan peluang memperluas jejaring budaya serta memperkaya khazanah pengetahuan.
Merawat tradisi lisan berarti menjaga empati dan kebersamaan, sedangkan melestarikan keaksaraan berarti membuka ruang analisis dan refleksi.
Media digital, akhirnya, harus dijadikan mitra dalam mempertahankan kemurnian nilai budaya sekaligus memajukan inovasi sosial serta pemikiran sistematis dalam masyarakat global.
Selama proses perubahan ini, upaya mempertahankan ruang dialog tetap harus digalakkan.
Interaksi antarmanusia yang ramah, reflektif serta penuh empati dapat mengimbangi kecepatan arus informasi digital yang kadang mendangkalkan makna.
Masyarakat harus diarahkan untuk konsisten menjaga nilai-nilai humanis yang hakiki, baik dalam lingkup keluarga, pendidikan maupun ruang publik digital.
Jika keseimbangan dijaga, kolaborasi antara kelisanan, keaksaraan dan era digital memberi harapan terciptanya masyarakat inklusif dan bertanggung jawab.
Dalam menapaki era global, memilih untuk merawat tradisi tutur dan tulisan secara beriringan merupakan sikap kritis terhadap perubahan zaman serta wujud penghormatan terhadap akar budaya yang membentuk identitas manusia.
Transformasi ini tidak sekadar urusan teknis media, melainkan juga persoalan mendalam soal nilai sosial dan pemaknaan hidup.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-19-Putri-Aulia-Mayapada-Mahasiswa-Sastra-Indonesia-UNM.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.