Opini
Keterampilan: Mata Uang Baru Pertumbuhan
Narasi ini menggambarkan populasi usia produktif yang melimpah sebagai modal menuju Indonesia Emas 2045.
Oleh: Abdullah Sanusi
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNHAS
TRIBUN-TIMUR.COM - Beberapa tahun terakhir, Indonesia sering membanggakan diri dengan istilah bonus demografi.
Narasi ini menggambarkan populasi usia produktif yang melimpah sebagai modal menuju Indonesia Emas 2045. Namun bonus tidak otomatis menjadi berkah.
Ia bisa berubah menjadi beban ketika kualitas tenaga kerja tidak berbanding lurus dengan kecepatan perubahan ekonomi.
Dari kegiatan diseminasi program pemagangan nasional dan uji publik dokumen outlook ketenagakerjaan Indonesia kerjasama Badan Perencanaan dan Pengembangan Ketenagakerjaan dengan Universitas Hasanuddin (18/11/2025) menegaskan hal itu.
Angka pertumbuhan investasi memang menggembirakan—Rp942,9 triliun pada semester pertama 2025 dengan serapan lebih dari 1,25 juta pekerja.
Namun di balik data itu, masih terdapat kesenjangan besar antara dunia pendidikan dan dunia kerja.
Sekitar 30 persen pengusaha mengaku kesulitan menemukan tenaga kerja dengan keterampilan yang sesuai, sementara lebih dari 55 persen pekerja sektor pertanian berusia di atas 45 tahun. Artinya, tenaga kerja baru memang banyak, tetapi belum tentu siap.
Hilirisasi dan Kesenjangan Baru
Program hilirisasi yang digadang-gadang sebagai mesin pencipta lapangan kerja memang menunjukkan hasil nyata.
Kawasan industri di luar Jawa tumbuh pesat; dari Sulawesi Tengah hingga Maluku Utara, pabrik-pabrik baru berdiri setiap bulan.
Namun pertumbuhan fisik tidak selalu sejalan dengan pertumbuhan keterampilan. Di banyak daerah, industri hadir lebih dulu daripada lembaga pelatihan.
Akibatnya, tenaga kerja lokal cenderung menempati posisi rendah, sementara jabatan teknis dan pengawasan masih diisi pekerja terampil dari luar.
Hilirisasi seharusnya menjadi jalan pemerataan kesempatan, bukan mempertebal garis antara pemilik teknologi dan pengguna tenaga.
Ketika produktivitas meningkat tanpa transfer pengetahuan, pertumbuhan hanya menghasilkan polarisasi baru—antara mereka yang mampu beradaptasi dan mereka yang tertinggal di tepi perubahan.
Transisi Hijau, Tantangan Abu-Abu
Isu lain yang mencuat dari Outlook 2026 adalah transisi menuju ekonomi hijau. Jumlah green jobs diperkirakan naik dari 3,4 juta pada 2022 menjadi 3,9 juta pada 2026, dengan potensi tambahan 4 juta pekerjaan baru hingga 2030.
Namun peluang itu hanya akan nyata jika diiringi dengan investasi serius pada keterampilan.
Tenaga kerja masa depan tidak lagi cukup hanya kuat secara fisik; ia harus mampu mengoperasikan teknologi ramah lingkungan, memahami data, dan berpikir sistemik.
Seperti dikemukakan oleh Gary Becker (1964), pendidikan dan pelatihan adalah investasi modal manusia yang menentukan produktivitas jangka Panjang.
Sayangnya, dalam praktik kebijakan, investasi pada manusia sering kali datang belakangan—setelah proyek berjalan, bukan sebelum mesin dinyalakan.
Tanpa pembaruan kurikulum dan pelatihan besar-besaran, transisi hijau bisa menjadi paradoks: ekonomi tampak modern, tapi manusianya masih bekerja dengan logika lama.
Dari Bonus ke Risiko
Selama satu dekade, istilah bonus demografi diperlakukan seperti mantra pembangunan. Namun waktu bonus itu terbatas. Jika tenaga kerja muda tidak memperoleh kesempatan untuk meningkatkan keterampilan, maka yang tersisa adalah risiko sosial: pengangguran terdidik, pekerja informal yang menua, dan kesenjangan antar-wilayah yang makin lebar.
Data dalam Outlook 2026 menunjukkan pergeseran kebutuhan ke arah jabatan teknis dan profesional, sementara sistem pendidikan belum menyesuaikan diri sepenuhnya.
Kita sedang membangun industri abad ke-21 dengan cara berpikir abad ke-20. Dan di tengah percepatan teknologi serta transisi energi, keterlambatan semacam ini bisa membuat bonus demografi berubah menjadi beban struktural.
Menata Ulang Strategi Pekerja Masa Depan
Pemerintah telah menyiapkan berbagai langkah: skill forecasting berbasis data besar, integrasi job-matching nasional, dan target reskilling lima juta pekerja per tahun.
Langkah-langkah ini penting, tetapi keberhasilannya bergantung pada dua hal mendasar: konsistensi kebijakan dan kemitraan lintas sektor.
Kemitraan antara pemerintah, dunia usaha, dan pendidikan vokasi tidak boleh berhenti pada seremoni kerja sama. Ia harus menghasilkan ekosistem belajar-bekerja yang berkelanjutan.
Investasi industri seharusnya selalu disertai investasi pada manusia—setiap pembangunan kawasan industri harus membawa pusat pelatihan dan teknologi bersamanya.
Pembangunan tenaga kerja yang adaptif bukan sekadar agenda ekonomi, tetapi strategi pertahanan sosial: memastikan setiap warga mampu bertahan dan berkembang di tengah perubahan.
Cermin untuk Masa Depan
Outlook Ketenagakerjaan 2026 memberi kita cermin yang jujur: Indonesia tidak kekurangan tenaga kerja, tetapi kekurangan tenaga kerja yang siap menghadapi masa depan.
Kualitas manusia kini menjadi batas pertumbuhan baru, dan keterampilan adalah mata uangnya. Tanpa itu, investasi dan industrialisasi hanya akan menghasilkan produktivitas yang timpang.
Bonus demografi tidak datang dua kali. Jika gagal dikelola, ia akan berlalu tanpa bekas.
Namun jika diarahkan dengan benar—melalui pendidikan, pelatihan, dan keberanian memperbarui cara berpikir—bonus itu bisa berubah menjadi energi sosial yang menyalakan bukan hanya mesin industri, tetapi juga masa depan bangsa.

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.