Opini
Politik Nama di Negeri Jurnal
Sementara data Science and Technology Index (SINTA), Indonesia mencatat lebih dari 1,2 juta artikel ilmiah hingga pertengahan 2024.
Oleh: Muhammad Suryadi R
Peneliti Parametric Development Center
TRIBUN-TIMUR.COM - DI saat penilaian akreditasi perguruan tinggi 2025 dilakukan, BAN-PT memperbarui sistem penilaiannya dengan menempatkan produktivitas publikasi ilmiah sebagai indikator utama mutu kampus.
Sementara data Science and Technology Index (SINTA), Indonesia mencatat lebih dari 1,2 juta artikel ilmiah hingga pertengahan 2024. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dibanding lima tahun sebelumnya.
Di balik kebijakan dan angka yang membanggakan itu, tersembunyi paradoks yang menggelisahkan. Kualitas pengetahuan tampak meningkat di atas kertas, tetapi fondasi etiknya justru rapuh.
Fenomena politik nama -penyantuman nama penulis tanpa kontribusi ilmiah- mencerminkan bahwa pengetahuan kini beroperasi dalam logika kapital bahwa semakin banyak nama, semakin tinggi nilai simbolik yang dihasilkan.
Ilmu Produktif, Kebenaran Terpinggirkan
Masalah ini bukan sekadar soal etika kampus. Ia adalah masalah politik pengetahuan.
Ketika kebijakan publik menjadikan publikasi sebagai ukuran kemajuan bangsa, sistem pendidikan tinggi berubah menjadi mesin produksi reputasi.
Dalam atmosfer seperti itu, integritas ilmiah sering dikorbankan atas nama akreditasi dan peringkat global.
Jika riset diproduksi untuk memenuhi algoritma penilaian, bukan kegelisahan ilmiah, maka ilmu kehilangan maknanya sebagai pencarian kebenaran.
Krisis integritas akademik yang bermula di kampus pada akhirnya berimplikasi ke ruang publik bahwa masyarakat semakin sulit membedakan mana riset yang jujur dan mana yang sekadar administratif.
Saat ini, Indonesia kini menjadi negara dengan pertumbuhan publikasi tercepat di Asia Tenggara, namun masih menghadapi defisit kredibilitas ilmiah.
Kita semakin pandai memproduksi pengetahuan, tetapi belum sepenuhnya mampu menjaga maknanya.
Kolaborasi Tanpa Kontribusi
Fenomena politik nama tidak lahir dari niat buruk individu semata, melainkan dari desain sistem yang menormalisasi perilaku simbolik.
Kinerja dosen diukur dari jumlah artikel di jurnal bereputasi, bukan dari dampaknya terhadap masyarakat.
Dalam tekanan administratif itu, kolaborasi sering menjadi ritual, bukan substansi. Kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tahun 2023 mencatat bahwa lebih dari 60 persen peneliti menulis terutama untuk memenuhi target institusi.
Sementara Committee on Publication Ethics (COPE) menggolongkan honorary authorship sebagai bentuk pelanggaran etik yang terus meningkat secara global. Tetapi di era digital, bentuk pelanggaran ini berevolusi.
Kini, nama dapat dimasukkan hanya dengan satu klik, dan reputasi akademik bisa dibangun melalui jejak algoritmik di Google Scholar atau Scopus. Integritas akademik bergeser dari moral action menjadi data trace, yakni dari akal sehat menjadi angka.
Inilah dimensi baru yang jarang dibicarakan yaitu politik nama bukan hanya krisis moral akademisi, tetapi juga bentuk kolonialisme pengetahuan digital.
Platform jurnal internasional yang menjadi tolok ukur reputasi ilmiah kini didominasi oleh penerbit dan algoritma global.
Negara-negara seperti Indonesia, yang ingin diakui secara akademik, tanpa sadar tunduk pada logika kapital pengetahuan global di mana nilai ilmiah diukur bukan dari gagasan, melainkan dari posisi jurnal dalam indeks kuartil.
Akibatnya, dosen dan peneliti lokal berkompetisi bukan dalam inovasi, tetapi dalam mengejar legitimasi digital.
Nama menjadi identitas global yang diperjualbelikan dalam sistem pengetahuan yang terkolonialisasi.
Inilah wajah baru kolonialisme abad ke-21 bahwa bukan penjajahan teritorial, melainkan penjajahan epistemik melalui data dan algoritma.
Dalam konteks global, fenomena ini sejalan dengan apa yang disebut Nick Couldry dan Ulises A. Mejias sebagai Data Colonialism, yakni bentuk penjajahan baru di mana data manusia, termasuk data akademik, diekstraksi dan dimonetisasi oleh kekuatan global.
Upaya pemerintah menata tata kelola riset juga terlihat lewat Peraturan BRIN No. 2 Tahun 2025 yang mengatur kedaulatan data penelitian nasional.
Tetapi, di sisi lain, sistem publikasi global masih dikendalikan oleh penerbit dan algoritma internasional yang menilai reputasi berdasarkan indeksasi digital.
Dalam situasi ini, peneliti Indonesia tetap terjebak dalam paradoks: data riset dikelola secara nasional, tetapi pengakuan ilmiah tetap ditentukan oleh pusat kekuasaan pengetahuan global.
Mekanisme yang sama kini merasuki dunia ilmiah bahwa jejak publikasi, sitasi, dan indeksasi menjadi komoditas yang memperkuat hierarki antara pusat dan pinggiran pengetahuan.
Indonesia, dengan dorongan obsesif terhadap indeks internasional, tanpa sadar menjadi pemasok data bagi kapitalisme akademik global.
Dalam sistem ini, pengetahuan bukan lagi dimiliki oleh komunitas ilmiah yang memproduksinya, melainkan oleh infrastruktur digital yang mengarsipkannya.
Dengan demikian, politik nama bukan sekadar praktik lokal yang tidak etis, tetapi bagian dari rantai panjang data colonialism yang menjadikan akademisi di negara berkembang sebagai subjek yang dieksploitasi dalam ekonomi pengetahuan global.
Krisis ini menuntut reformasi kebijakan yang melampaui administrative.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi perlu meninjau ulang sistem penilaian akademik berbasis kuantitas. BAN-PT dapat menambahkan indikator kepatuhan etik publikasi dalam proses akreditasi.
Sementara BRIN bisa mengembangkan repositori nasional kontribusi penulis, agar publik dapat menilai transparansi dan tanggung jawab ilmiah dari setiap publikasi. Langkah-langkah ini penting, tetapi tidak cukup.
Tanpa perubahan paradigma, publikasi ilmiah akan tetap menjadi cermin paradoks, yakni semakin banyak artikel diterbitkan, semakin sedikit yang dipercaya.
Pengetahuan Naik, Kebenaran Turun
Budaya publish or perish telah membuat dunia akademik kehilangan arah. Teknologi digital memang memudahkan proses riset, tetapi sekaligus menciptakan tekanan untuk terus eksis dalam ruang pengetahuan yang serba cepat.
Dalam situasi ini, ilmuwan bisa produktif secara teknis, tapi miskin secara epistemik.
Mereka tahu cara menulis, tetapi lupa bagaimana mempertanyakan. Mereka tahu cara mencantumkan nama, tetapi lupa bagaimana membangun gagasan.
Inilah paradoks dunia akademik kita bahwa produktivitas meningkat, tapi makna hilang. Pengetahuan menjadi efisien, tapi kehilangan kebijaksanaan.
Krisis integritas akademik adalah refleksi dari hilangnya etos ilmiah, yakni keberanian berpikir dan kejujuran mengakui keterbatasan. Kampus-kampus modern seolah sibuk membangun menara reputasi, tetapi lupa membangun fondasi moralnya.
Reformasi publikasi harus dimulai dari kesadaran sederhana, yaitu ilmu bukan sekadar data, tetapi nurani yang berpikir.
Tanpa kesadaran ini, dunia akademik akan terus mencetak nama tanpa makna, penulis tanpa gagasan, dan riset tanpa kejujuran.
Menata ulang tata kelola publikasi bukan semata urusan administrasi, melainkan cara memulihkan martabat ilmu pengetahuan.
Hanya ketika pengetahuan dikembalikan pada etika, kampus dapat kembali menjadi rumah bagi kebenaran bukan pabrik reputasi.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/2025-11-18-Muhammad-Suryadi-R-Peneliti-Parametric-Development-Center.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.