Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Corat Coret Perlawanan Dari Kolong Tol Makassar

Pernah suatu malam saya mampir dengan maksud sekedar duduk sambil mengamati sekeliling kolong tol.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Andi Yahyatullah Muzakkir Founder Anak Makassar Voice. Andi Yahyatullah Muzakkir salah satu penulis rutin Opini Tribun Timur. 

Anak-anak jalanan akhirnya juga mendapat basecamp menetap tiap malamnya, anak-anak motor mendapat tempat tongkrongan, para pegiat olahraga skateboard yang mengasah skill dan keterampilannya juga memilih kolong tol ini, hingga para pedagang kaki lima telah mendapatkan pasarnya dari produk jualan mereka. 

Meski demikian, secara fundamental saya tidak melihat di kolong tol ini menjadi opsi para pegiat literasi untuk memassifkan bacaan buku, mungkin saja belum dipikirkan.

Sambil menikmati malam Minggu ini, saya mencoba mengamati detail-detail kolong tol, seketika fokus pada setiap panggung penyangga tol layang jalan Andi Pangerang Pettarani ini sudah dipenuhi corat coret tulisan dan gambar-gambar.

Ragam tulisan yang muncul dari yang biasa hingga yang ekstream. Kata-kata dan gambar liar yang menyimbolkan kebebasan dan simbol sebagai kota metropolitan.

Saya mengamati satu kata unik di panggung penyangga dengan huruf yang besar tertulis “Papua”. 

Dengan sederhana saya lalu mengartikan corat coret ini semua memiliki makna-makna yang dalam. Bisa sebagai ungkapan dan kritik akan kemuakan dari sistem pemerintahan yang sedang berjalan hari ini baik di tingkat pusat hingga daerah.

Bisa juga sebagai bentuk perlawanan hingga menjadi ruang ekspresi.

Dalam artian sebagian anak muda kota ini menginginkan ruang fisik, ruang ekspresi yang aman, dimana kita bisa merasa setara, yang bisa diakses secara bebas untuk menyalurkan ekspresi dan kegelisahan diri mereka.

Hal ini juga telah dikukuhkan oleh Marxis yang menganggap seni sebagai bagian dari perjuangan ideologis dan politik.

Bahkan Antonio Gramsci yang mengembangkan teori hegemoni juga memandang seni, lukisan, corat coret sebagai alat potensial untuk menantang struktur kekuasaan dan mitos budaya yang ada.

Akhirnya, fenomena ini dari gambar hingga corat coret di bawah kolong tol bisa dipandang sebagai sebuah simbol perlawanan. Sehingga semua elemen termasuk pemerintah setempat mesti memandang fenomena ini urgent untuk disikapi.

Dalam arti hal ini tidak boleh dibiarkan begitu saja. Sebab ruang publik dan fasilitas publik ini adalah milik semua masyarakat.

Sehingga tempat ini mesti bersih lingkungannya, agar para pengunjung yang datang bersantai bisa merasa aman dan nyaman.

Tentang Ruang Terbuka Hijau

Sebagai kota yang memiliki sejarah panjang, Makassar seharusnya banyak berbenah dan melakukan perbaikan.

Makassar sebagai Ibu kota di Provinsi Sulawesi Selatan dengan kondisi jalan yang serampangan ini sangat tampak tidak pantas.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

Konsisten

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved