Opini Asratillah
Prabowo dan Kapitalisme Negara
Semuanya menemukan simbolnya dalam peluncuran Daya Anagata Nusantara Investment Management Agency, atau yang lebih dikenal dengan singkatan Danantara.
Di titik ini, Jacques Rancière membantu kita menajamkan pisau analisis. Dalam “Disagreement: Politics and Philosophy” (1999), ia membedakan antara “politik” dan “polisi”. Politik, bagi Rancière, adalah momen ketika yang tak bersuara menuntut hak bicara,sedangkan “polisi” adalah tatanan yang menetapkan siapa boleh berbicara dan siapa tidak.
Model ekonomi Prabowo, dengan Danantara sebagai porosnya, tampak semakin bergerak dari ranah politik menuju ranah polisi. Segala sesuatu diatur, direncanakan, dan dikalkulasi oleh negara atas nama rakyat. Tapi rakyat di sini adalah subjek yang dibicarakan, bukan yang berbicara. Pembangunan menjadi mantra, sementara partisipasi menjadi hiasan. Dalam terminologi Rancière, ini adalah bentuk “depolitization by administration”—politik yang dikelola seperti manajemen, bukan perjuangan.
Di sinilah letak ketegangan antara visi Prabowo dan demokrasi ekonomi yang hidup. Jika hegemoni Gramscian bertujuan membangun konsensus, maka tatanan Rancièrian justru menuntut gangguan alias disensus—suara yang tidak sesuai harmoni, namun justru menyelamatkan ruang politik dari pembekuan.
Menawarkan Jalan Lain
Apa yang bisa dilakukan agar kapitalisme negara tidak berubah menjadi negara kapitalis? Bagaimana agar negara tetap hadir kuat, tanpa menjadi raksasa yang memakan rakyatnya sendiri? Alternatifnya mungkin bukan dihapusnya peran negara, melainkan penyeimbangan antara kekuasaan negara dan kedaulatan rakyat. Negara boleh menjadi pemain besar, tapi ia harus bermain di lapangan yang diterangi oleh cahaya transparansi dan partisipasi publik.
Institusi seperti Danantara bisa menjadi alat kemajuan, asalkan ia terbuka pada pengawasan. Dewan pengawasnya perlu diisi bukan hanya oleh pejabat dan teknokrat, tetapi juga wakil masyarakat sipil, serikat pekerja, dan komunitas akademik. Laporan keuangannya mesti tersedia untuk publik, lengkap dengan penilaian keberlanjutan lingkungan dan sosial. Prinsip ESG (Environmental, Social, Governance) tak boleh sekadar jargon investor, tapi jadi kewajiban moral negara.
Lebih jauh, negara perlu mendesentralisasi hasil dari kapitalisme negara itu sendiri. Hilirisasi tambang, misalnya, jangan berhenti di pabrik besar milik BUMN,ia harus melibatkan koperasi lokal, UMKM, dan komunitas di wilayah penghasil. Partisipasi lokal bukan hanya etika, tapi juga strategi—karena ekonomi yang tumbuh di pusat tapi mati di pinggiran hanyalah bentuk lain dari penjajahan internal.
Mungkin di sinilah kita bisa mengingat kembali semangat Pasal 33 UUD 1945, yang sering dikutip tapi jarang dipahami secara kontekstual. Pasal itu tak pernah dimaksudkan untuk memberi negara monopoli atas produksi, melainkan memastikan bahwa cabang-cabang produksi yang penting dikelola untuk kemakmuran rakyat. Rakyat di sini bukan simbol, tetapi pelaku. Maka, demokrasi ekonomi berarti menghadirkan rakyat dalam logika ekonomi, dalam pengambilan keputusan, dalam kepemilikan, dalam pembagian hasil.
Tentu, negara besar seperti Indonesia membutuhkan koordinasi makro yang kuat. Namun kekuatan itu akan kehilangan legitimasi jika tidak disertai mekanisme koreksi dari bawah. Pendidikan ekonomi publik menjadi penting—agar warga memahami bagaimana kekayaan nasional dikelola dan untuk siapa. Ruang deliberasi ekonomi, baik di DPR maupun di forum-forum lokal, perlu dihidupkan agar kebijakan ekonomi tak hanya disusun oleh para teknokrat, tetapi juga oleh warga yang hidup dari konsekuensinya.
Kita juga memerlukan keberanian menghadapi bahaya oligarki, baik dari dalam maupun luar negara. Karena kapitalisme negara, tanpa kontrol, mudah berubah menjadi “state oligarchy”—gabungan antara pejabat dan pebisnis yang saling menopang. Mekanisme anti-monopoli harus diperkuat, laporan keuangan BUMN harus diaudit terbuka, dan konflik kepentingan perlu ditindak keras. Hanya dengan cara itu, negara sebagai pemilik modal bisa tetap menjadi pelayan publik, bukan pelayan segelintir elit.
Prabowo Subianto kerap berbicara dengan keyakinan seorang jenderal, nampak disiplin, efisiensi, dan ketertiban. Tapi ekonomi bukan pasukan, dan rakyat bukan prajurit. Dalam dunia yang semakin kompleks, ekonomi tak hanya butuh komando, tapi juga imajinasi. Kapitalisme negara bisa menjadi alat besar untuk kemajuan, tapi juga jebakan besar bagi demokrasi.
Dengan menggunakan kacamata Neo-Gramscian, kita melihat bahwa kekuasaan ekonomi negara adalah proyek hegemoni yang menuntut legitimasi melalui ide nasionalisme dan moral pembangunan. Dan melalui Rancière, kita diingatkan bahwa politik sejati dimulai ketika mereka yang tak punya suara menuntut hak bicara dalam proyek besar itu.
Jika negara menjadi pemain utama ekonomi, maka rakyat harus menjadi penulis naskahnya. Jika modal dikelola atas nama bangsa, maka bangsa harus benar-benar hadir, bukan sekadar disebut. Sebab tanpa itu, kapitalisme negara hanya akan menjadi ejaan baru dari kalimat lama: bahwa kekuasaan, di tangan siapa pun, cenderung mencintai dirinya sendiri lebih dari keadilan.
Mungkin inilah tantangan terbesar kita di era Prabowo, bagaimana memastikan agar negara yang kuat tidak kehilangan rohnya sebagai alat rakyat, bukan alat kapital. Negara boleh menjadi dirigen, tapi tanpa memastikan semua pemain mendapat giliran memainkan nada mereka, simfoni pembangunan itu hanya akan terdengar sebagai orkestra dari para elite—megah, tapi asing di telinga rakyatnya sendiri.(*)

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.