Opini
Saatnya Meninjau Ulang Parliamentary Threshold 4 Persen
Mereka mencoblos bukan sekadar kertas, tapi masa depan yang mereka inginkan. Sayangnya, jutaan suara sah tak pernah sampai ke parlemen
Perbedaan nol koma sekian persen menjadi jurang yang memisahkan antara keterwakilan dan penghapusan.
Di sinilah suara rakyat dibatasi oleh angka, bukan oleh kehendak.
Ambang batas awalnya dirancang untuk menyederhanakan sistem kepartaian, agar parlemen tidak dipenuhi oleh terlalu banyak fraksi yang menyulitkan pengambilan keputusan.
Namun dalam praktiknya, ia justru memperkuat dominasi partai besar dan menutup ruang bagi partai baru, partai lokal, atau partai yang berbasis isu dan kelompok marjinal.
Demokrasi yang seharusnya memberi ruang bagi keberagaman justru menjadi taman berpagar tinggi yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang sudah mapan.
Lebih menyedihkan lagi, ambang batas nasional juga diterapkan untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Padahal, semangat otonomi daerah dan desentralisasi menuntut agar suara lokal memiliki tempat yang layak.
Banyak partai yang memiliki dukungan kuat secara lokal justru tersingkir karena tidak lolos ambang batas nasional.
Ini bukan hanya soal teknis elektoral, tapi soal kedaulatan pemilih daerah yang terabaikan.
Ketika suara rakyat di daerah tidak diakui hanya karena tidak memenuhi ambang batas nasional, maka prinsip desentralisasi yang dijamin konstitusi menjadi sekadar slogan.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 116/PUU-XXI/2023 memang menolak uji materi terhadap ambang batas 4 persen.
Namun, MK memberikan catatan penting: bahwa ambang batas bukan norma konstitusional, melainkan bagian dari kebijakan hukum terbuka yang dapat dievaluasi oleh pembentuk undang-undang.
MK juga menekankan pentingnya prinsip keadilan elektoral, proporsionalitas, dan keterwakilan politik rakyat dalam merumuskan ambang batas.
Catatan MK seharusnya menjadi pijakan untuk meninjau ulang sistem yang ada.
Penurunan ambang batas menjadi 3 persen atau lebih rendah dapat membuka ruang bagi partai kecil dan pemilih minoritas.
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.