Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I

Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Internasional pertama dan MQK Nasional ke-8 dilaksanakan di Asadiyah

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Ahmad Arfah Mubasyarah SS MHum, ASN Kemenag Bulukumba/Penggiat Sosial. Dia menulis opini soal MQK Internasional. 

KH Abdurrahman Wahid pernah berpesan, "Akhlak seorang santri tidak terlihat saat masih berada di pesantren, melainkan setelah alumni, sehingga santri dituntut memiliki kesabaran dan kesungguhan dalam menjalani proses itu."

Fakta itu tergambar, saat santri dan masyarakat seringkali meminta pertimbangan Kiai, bukan hanya seputar keagamaan, tapi pandangan politik, situasi ekonomi dan sebagainya.

Tradisi meminta pandangan ini tidak hanya berhenti saat para santri berada di lingkungan pesantren saja, akan tetapi terus dilanjutkan dan dikembangkan sesampai mereka di masyarakat.

Indikator utama yang menjadikan kiai dipercaya masyarakat adalah kredibilitas moral, pelayanan kepada masyarakat, dan kemampuan mempertahankan tatanan sosial.

Pesantren juga mengusung nilai inklusivisme, yang terbukti mampu beradaptasi dengan beragam budaya, tanpa kehilangan jati dirinya.

Sehingga akan terasa janggal jika ada pesantren yang memiliki model yang ekslusif.

Santri adalah simbol keterbukaan. Mereka belajar hidup berdampingan dengan budaya apa pun, sambil tetap menjaga akar tradisinya. Inilah yang menjadikan pesantren relevan dengan tantangan zaman.

Hal ini juga disebabkan pesantren memiliki transmisi pengetahuan khas yang sering disebut dengan sanad atau ijazah.

Sanad dan ijazah sendiri merupakan proses mata rantai keilmuan yang mempunyai ketersambungan dan kejelasan sumbernya. 

Tujuannya tidak lain, guna menjamin keotentikan ilmu tersebut.

Sehingga pemahaman dan pemikiran yang diperoleh para santri dapat dipastikan sesuai dengan pengarang kitab, sampai kepada pendahulu-pendahulunya.

Melalui ikatan geneologi pengetahuan inilah, keilmuan antarpesantren saling berhubungan dan bermuara pada tokoh tokoh besar ulama di Nusantara.

Di pesantren, santri tidak hanya belajar dari kitab, tetapi juga melalui pengalaman hidup bersama dalam komunitas.

Mereka diajarkan untuk hidup sederhana, menghargai ilmu, menghormati guru, dan mengabdi kepada masyarakat, mencintai negara. 

Nilai-nilai ini membentuk karakter yang tangguh, rendah hati, dan bertanggung jawab, karakter yang sangat dibutuhkan untuk membangun peradaban yang bermartabat.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved