Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah

Munas IV Hidayatullah di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta akan dibuka langsung Bapak Presiden Prabowo.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
PENULIS OPINI - Irfan Yahya, sosiolog, aktivis Hidayatullah, akademisi dan peneliti pada Puslit Opini Publik LPPM Unhas. Dia menulis opini terkait jelang Munas IV Hidayatullah. 

Pola ini sejalan dengan teori sosiologi pengetahuan Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1966) tentang eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi.

Kesadaran wahyu dieksternalisasi melalui ajaran dan amal, menjadi obyektif dalam bentuk lembaga dan norma sosial, lalu diinternalisasi kembali sebagai kesadaran spiritual dan moral individu.

Paradigma SW menggambarkan siklus ini secara integral: dari kesadaran transenden menuju realitas sosial yang hidup.

 Kuntowijoyo (1991) dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi menegaskan perlunya pergeseran dari Islam normatif menuju Islam historis—dari kesalehan individual menuju kesalehan sosial.

Tiga prinsip yang ia kemukakan, yakni humanisasi, liberasi, dan transendensi, menjadi arah bagi Islam sebagai kekuatan transformasi sosial.

Paradigma SW menerjemahkan prinsip-prinsip ini ke dalam mekanisme epistemologis konkret: setiap perubahan sosial harus berakar pada pembentukan kesadaran tauhid dan penguatan moral.

Dengan demikian, Paradigma SW berfungsi sebagai “jembatan epistemik” yang mengubah wahyu menjadi sistem pengetahuan dan tindakan sosial.

Ia bukan hanya model pemikiran keagamaan, tetapi juga instrumen sosiologis yang memungkinkan lahirnya masyarakat berilmu dan berkeadaban.

 
Dimensi sistemik Paradigma SW diperkuat oleh pendekatan Masri Muadz (2002) dalam Paradigma Al-Fatihah, yang menempatkan berpikir sistem (system thinking) sebagai cara memahami keterpaduan ajaran Islam.

Al-Fatihah menggambarkan totalitas sistem nilai, pengetahuan, dan amal; setiap komponennya saling terhubung dan berfungsi dalam satu kesatuan yang koheren. 

Paradigma SW mengadopsi semangat tersebut dengan melihat tartib nuzuli sebagai sistem dinamis: setiap fase berfungsi sebagai prasyarat bagi tahap berikutnya.

Kesadaran tauhid melahirkan akhlak, akhlak membentuk spiritualitas, spiritualitas menuntun dakwah, dan dakwah memuncak dalam pembentukan masyarakat kaffah.

Pendekatan sistemik ini menempatkan wahyu bukan sekadar sumber normatif, melainkan sebagai konstruksi sosial bagi tegaknya peradaban.

 Dari sudut pandang sosiologi pengetahuan, Paradigma SW memperlihatkan bagaimana pengetahuan ilahiah dapat diinstitusionalisasi menjadi struktur sosial.

Berger (1967) menyatakan bahwa setiap sistem pengetahuan memperoleh legitimasi sosial melalui institusi dan simbol yang menopangnya.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved