Opini
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal
Efisiensi fiskal pusat berdampak pada lemahnya daya fiskal daerah. Ketimpangan baru muncul, pembangunan tersendat.
Teori desentralisasi fiskal (Oates, 1972) menegaskan bahwa pelayanan publik akan lebih efektif jika keputusan keuangan didekatkan ke masyarakat.
Namun, ketika ruang fiskal daerah menyempit, kepala daerah kehilangan kemampuan untuk berinovasi.
Efisiensi pun berubah makna, bukan lagi tentang optimalisasi, tetapi sekadar bertahan di tengah himpitan keterbatasan.
Kondisi ini tentunya menciptakan tekanan fiskal (fiscal stress) di banyak daerah.
Anggaran pendidikan dipangkas, proyek infrastruktur ditunda, dan program sosial dikurangi.
Pada sisi yang lain, masyarakat tetap menuntut layanan berkualitas.
Akibatnya, daerah berada di tengah paradoks: diminta produktif, tapi dibatasi sumber dayanya.
Masyarakat di daerah tetap menuntut kinerja yang maksimal dari kepala daerahnya, yang tentunya akan menciptakan jurang yang lebar antara ekspektasi publik dan kapasitas fiskal pemerintah daerah.
Lebih jauh, kebijakan efisiensi yang diberlakukan secara seragam menafikan perbedaan kemampuan fiskal antarwilayah.
Daerah dengan PAD tinggi masih bisa bernapas dan dapat lebih leluasa bergerak, sementara daerah miskin fiskal terengah-engah.
Efisiensi di pusat justru menciptakan ketimpangan baru di daerah, inilah bentuk paradoks baru pembangunan kita: “Indonesia maju”, tapi daerahnya lesu: efisiensi di pusat menciptakan inefisiensi di daerah.
Padahal, efisiensi sejati bukan tentang pemangkasan, melainkan pembaruan.
Osborne dan Gaebler (1992) sudah mengingatkan kita, efisiensi harus lahir dari inovasi dan hasil nyata, bukan sekadar penghematan.
Pemerintah pusat seharusnya membantu daerah memperkuat kapasitas fiskal melalui digitalisasi pajak, pengelolaan aset produktif, dan tata kelola yang berbasis kinerja.
Kebijakan publik yang efektif menuntut kolaborasi, bukan dominasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.