Opini
Hak Pilih di Tengah Matinya Hak Hidup
Misalnya di Gowa, Bawaslu telah berupaya mendorong akurasi data hak-hak politik warga sebagai kesiapan pemilu berikutnya.
Timbul tanya sederhana di benak kita, kewenangan siapakah yang mengeluarkan akte kematian? Atas dasar apakah administrasi itu dikeluarkan? Lalu kepentingan apakah yang menyilaukan niat?
Tentu, perangkat pemerintah di level desa dan kelurahan yang melakukan cap kematian itu, dan atas dasar permohonan pihak keluargalah yang mengajukan.
Namun, alih-alih ingin mendapatkan akte kematian, muncul sebuah konstruk berpikir yang berdalih menyilaukan hati, bahwa pihak keluarga enggan mengajukan permohonan akte kematian, disebabkan takutnya mereka tak lagi mendapatkan bantuan sosial.
Inilah yang selalu menjadi polemik akurasi data di tingkat lokal sulit tersinkroniasi dengan tepat.
Oleh karena itu, diperlukan kesungguhan semua pihak (stakeholder), dinas kependudukan catatan sipil, dinas sosial dan kesehatan, pemerintah desa, kelurahan, untuk terus aktif memediasi, memikirkan, mencerdaskan kesadaran warga. Dan mendorong kebijakan solutif bagi keluarga penerima Bansos, agar tetap diakomodir walau nama penerima manfaat telah meninggal dunia.
Sebab, jika cara tegas demikian tak berani diambil sebagai langkah solutif dalam kebijakan, maka salah satu potensi terbesar dikemudian hari, data meninggal itu akan tetap hidup, tercatat sebagai pemilih aktif yang bisa disalahgunakan oleh pihak tak bertanggungjawab sebagai pemilih atas nama orang lain.
Olehnya, kita berharap pemilu mendatang, semua menerima kematian seseorang sebagai takdir ilahi, hak pilihnya telah tiada, namun rezeki keluarganya diperjuangkan agar tetap menerima manfaat bantuan sosial. Dan jangan lagi ada pemilih "bangkit dari kubur" menuju TPS.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.