Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Bermaulid Bukan di Bulan Maulid

Namun dengan berakhirnya bulan Maulid, lewatnya Rabiul Awal, apakah berakhir pula perayaan maulid Nabi saw.?

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
RUBRIK OPINI - Mahmud Suyuti, Katib ‘Am Jam’iyah Khalwatiyah. Mahmud Suyuti merupakan salah satu penulis rubrik Opini Tribun Timur. 

Oleh: Mahmud Suyuti

Dosen Hadis dan Ilmu Hadis UIM Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - HARI ini, Jumat/26/9 bertepatan 4 Rabiul Akhir 1447 H bukan lagi bulan Maulid, bukan lagi Rabiul Awal sebagai bulan kelahiran Nabi SAW.

Bagi umat Islam, perayaan Maulid Nabi SAW di bulan Maulid kelihatan telah mentradisi dan dilaksanakan secara meriah.

Namun dengan berakhirnya bulan Maulid, lewatnya Rabiul Awal, apakah berakhir pula perayaan maulid Nabi saw.?

Apabila yang dimaksud maulid adalah merayakan hari lahir tanpa membatasi bagaimana ekspresi perayaannya maka Nabi SAW mempraktikkannya dengan cara berpuasa setiap hari Senin.

Hadis riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa Senin adalah hari kelahiranku sehingga aku berpuasa. Demikian sabda Nabi SAW.

Jadi perayaan maulid tidak terbatas pada bulan maulid saja tetapi setiap bulan minimal empat kali.

Bahkan jika suatu bulan ditemukan lima kali hari senin, maka sebanyak itu pula Nabi SAW berpuasa, yakni lima kali bermaulid.

Jika maulid yang dimaksud sebagai syiar maka merayakannya tidak terbatas setiap Senin, tidak pula setiap bulan maulid tetapi kapanpun bisa dilaksanakan.

Memang perayaan maulid pada umumnya dilaksanakan berkaitan penempatan waktunya pada bulan maulid, Rabiul Awal. 

Tetapi penempatan tersebut bukanlah penetapan berdasarkan syariat karena tidak ada dalil kesunnahan maulid pada setiap bulan maulid.

Pengkhususan waktu maulid pada bulan maulid hanyalah sebagai lil-tartib, yakni untuk penyesuaian waktu.

Israk Mikraj Nabi SAW diperingati pada setiap 27 Rajab, Nuzul al-Quran setiap 17 Ramadan, Asyurah setiap 10 Syaban itu semua sebagai lil-tartib. 

Namun khusus maulid sebagai peringatan hari kelahiran Nabi SAW adalah lil tarhib, yakni untuk kemuliaan disertai kesyukuran.

Kendati Nabi SAW dilahirkan 12 Rabiul Awal 570 M, namun syiar maulid tidak hanya diperingati pada tanggal dan bulan tersebut saja karena alasan lil tarhib.

Demi meraih kemuliaan dan bersyukur mengenang kelahiran Nabi SAW maka bisa saja maulid dilaksanakan di luar bulan maulid dengan berbagai kekhasan.

Biasanya dilaksanakan dengan berkumpul di suatu tempat dan lazimnya dimulai dengan pembacaan ayat suci al-Qur’an.

Mereka dengan khusyu mendengarkan ayat al-Qur’an dibacakan, mendengarkan ceramah yang berisi mauidzatul hasanah untuk meneladani Nabi SAW.

Secara bersama-sama mereka membaca shalawat, membaca biografi Nabi SAW yang termaktub dalam syair-syair kitab al-Barzanji.

Bagi ulama tarekat amaliah shalawatan dan pembacaan kitab al-Barzanji bahkan bacaan-bacaan untuk memuliakan Nabi SAW dalam berbagai kitab ratib telah menjadi amalan rutin.

Itulah sebabnya di internal tarekat menjadikan syiar maulid Nabi SAW sebagai keharusan pada setiap kesempatan tanpa terikat oleh waktu.

Ulama tarekat memahami bahwa maulid bukan saja bertujuan untuk memuliakan Nabi SAW tetapi sebagai ekspresi rasa cinta yang mendalam terhadapnya.

Kecintaan kepada Nabi SAW dalam dunia tarekat merupakan suatu maqam tertinggi yang disebut mahabbah.

Nabi SAW bersabda, tidak sempurna keimanan seseorang hingga ia lebih mencintaiku dari pada yang  lain (HR. Bukhari).

Jika maulid hanya dilaksanakan pada bulan maulid maka mahabbah terhadap Nabi SAW hanya pada bulan itu saja.

Sedangkan banyak dalil menegaskan bahwa mahabbah haruslah dipelihara, ditumbuhmekarkan tanpa batas waktu tertentu.

Jadi pelaksanaan maulid sejatinya tidak terbatas pada bulan maulid saja. Perayaan maulid pelaksanaannya tidak terikat dengan situasi dan kondisi.

Semakin sering kita bermaulid semakin banyak peluang mendapat syafaat dari Nabi SAW.

Dalam hadis disebutkan, barang siapa yang memuliakan kelahiranku, maka saya menjamin baginya syafaat di hari kiamat.

Umar bin Khattab berkata bahwa siapa yang senantiasa memuliakan kelahiran Nabi SAW maka sama halnya telah menghidupkan syiar Islam.

Dalil-dalil berupa hadis tentang maulid yang telah disebutkan disahihkan oleh al-Hafidz al-Musnid Habib Abdullah Bafaqih dalam kitab Tarikh juz I, halaman 60.

Selanjutnya Ibn Asakir dari imam al-Zahabi dalam kitab Syiar Alam al-Nubula mengatakan bahwa bermaulid memiliki landasan dalil yang kuat.

Dengan demikian maulid bukan sesuatu yang bid’ah karena memiliki dalil yang sahih. 

Pakar hadis seperti Imam al-Suyuti dalam kitab al-Hawi lil Fatawi menegaskan bahwa asal usul peringatan maulid bukan bid’ah karena pengambilan dalilnya bersifat tsabit, yakni memiliki dasar hukum yang kuat.

Peneliti hadis kontemporer Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam kitab Mafahim Yajibu Antushahha halaman 340 menyatakan dalil-dalil maulid bersifat hujjah, yakni dapat dijadikan pegangan hukum.

Dengan demikian, maulid merupakan sunnah dari masa Nabi SAW dan mentradisi sebagai syiar sejak  masa sahabat, tabiin dan ulama generasi setelahnya.

Ulama Ahli hadis Muzhaffar Abu Asid bin Zainuddin Ali bin Buktikin (w. 530 H) pertamakali memfatwakan agar maulid harus dirayakan demi syiar agama. 

Selanjutnya khalifah Salahuddin al-Ayyubi (w. 590) menginstruksikan kepada semua pemerintahan Islam menjadikan maulid sebagai syiar yang harus ditradisikan.

Syiar sekaligus tradisi maulid ini kemudian menjadi kegiatan rutin di berbagai negara mayoritas Islam, termasuk di Indonesia. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Thariq.

 

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved