Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Prof Andi Adri Arief

Refleksi Hari Maritim Nasional: Menggugat Imajinasi Bangsa, dari Agraris Menuju Maritim

Selama laut masih dianggap sebagai halaman belakang, Indonesia akan terus berjalan pincang

Editor: AS Kambie
Ist
PENULIS OPINI - Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi, Guru Besar Sosiologi Perikanan Universitas Hasanuddin. Foto ini diterima Tribun-Timur.com dari Prof Andi Adri Arief pada September 2025 untuk keperluan identitas penulis Opini Tribun Timur. 

Oleh: Prof Dr Andi Adri Arief SPi MSi

Guru Besar Sosiologi Perikanan Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap tanggal 23 September, bangsa Indonesia memperingati Hari Maritim Nasional.

Peringatan ini ditetapkan melalui SK Presiden Nomor 249 Tahun 1964 yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno, dan tahun 2025 menandai perayaan yang ke-61. Sejarah penetapan ini tidak bisa dilepaskan dari sejumlah momentum penting yang meneguhkan identitas Indonesia sebagai bangsa maritim.

Pada tahun 1953, Presiden Soekarno dalam pidatonya menekankan perlunya Indonesia kembali menjadi bangsa pelaut sejati—bukan sekadar buruh di kapal bangsa lain, melainkan bangsa yang menguasai cakrawala samudera dengan armada niaga dan militer yang kuat.

Beberapa tahun kemudian, pada 13 Desember 1957, lahir Deklarasi Djuanda yang diprakarsai Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja. Deklarasi ini menegaskan bahwa laut di sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan wilayah kedaulatan NKRI, sekaligus koreksi terhadap ordonansi kolonial yang justru memecah belah keutuhan nusantara.

Momentum penting lainnya adalah Musyawarah Nasional Maritim I yang digelar pada 23 September 1963 di Jakarta, yang menjadi forum nasional untuk meneguhkan orientasi maritim bangsa. Setahun kemudian, melalui SK Presiden, tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Maritim Nasional.

Namun, peringatan ini bukan sekadar ritual seremonial. Ia adalah pengingat sekaligus peringatan keras: laut adalah jantung kehidupan bangsa, ruang sejarah, sekaligus penentu masa depan.

Ironisnya, enam dekade setelah Hari Maritim ditetapkan, imajinasi bangsa ini masih lebih lekat pada sawah ketimbang samudera. Padahal, laut bukan sekadar bentang geografis, melainkan arena perebutan sumber daya, identitas, dan kedaulatan.

Sejarah dan Warisan Maritim Nusantara

Sulit dipungkiri, sejarah Nusantara adalah sejarah laut. Sriwijaya, Majapahit, hingga Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan pernah berjaya bukan karena lumbung padi, melainkan karena armada laut dan kontrol perdagangan maritim.

Jalur Rempah Nusantara adalah bukti nyata bahwa laut merupakan perekat peradaban, bukan sekadar halaman belakang.

Namun, narasi tersebut lama terkubur oleh dominasi imajinasi agraris yang diwarisi negara modern. Pendidikan nasional lebih sering menampilkan citra sawah dan padi ketimbang pelayaran dan ekologi laut.

Dari perspektif sosiologi perikanan, ini adalah bentuk hegemoni pembangunan darat yang menyingkirkan orientasi maritim bangsa. 

Akibatnya, laut yang seharusnya menjadi pusat kehidupan kolektif bangsa justru tersingkir dari kesadaran publik.

Imajinasi yang Masih Keliru

Bangsa ini masih mengimajinasikan dirinya sebagai negara agraris. Sawah, ladang, dan gunung seolah menjadi simbol tunggal dari identitas nasional. Padahal, fakta geopolitik dan geografi berbicara lain: lebih dari 70 persen wilayah Indonesia adalah laut, dengan garis pantai mencapai 95 ribu kilometer—terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Ironisnya, laut justru direduksi hanya sebagai panorama pariwisata, batas pemisah antarpulau, atau ruang kosong yang belum dioptimalkan. Padahal, nenek moyang bangsa ini adalah pelaut ulung, penjelajah samudera, sekaligus pedagang rempah yang jauh sebelum Jalur Sutera telah menghubungkan kepulauan Nusantara dengan India, Timur Tengah, hingga Eropa.

Pertanyaan mendasarnya: sampai kapan bangsa ini membiarkan imajinasi agraris mengekang potensi maritimnya?

Potensi Maritim: Masa Depan yang Terabaikan

Data terkini menunjukkan betapa besarnya peluang maritim Indonesia yang kerap diabaikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2024 mencatat bahwa potensi lestari perikanan tangkap Indonesia mencapai 12,01 juta ton per tahun, namun yang baru termanfaatkan  hanya sekitar 7,2 juta ton. Artinya, masih ada lebih dari empat juta ton peluang produksi yang belum tergarap.

Dalam bidang budidaya, Indonesia bahkan berdiri sebagai salah satu raksasa dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2023 mencatat produksi perikanan budidaya Indonesia mencapai 16,2 juta ton, menjadikannya produsen terbesar kedua setelah Tiongkok.

Lebih jauh lagi, sektor ekonomi maritim secara keseluruhan telah menyumbang lebih dari Rp1.400 triliun atau sekitar  kurang lebih 7 persen PDB nasional pada 2023, dengan proyeksi meningkat hingga 15 persen pada 2045 apabila kebijakan maritim diperkuat dan dikelola secara berkelanjutan.

Namun angka-angka tersebut justru menyingkap paradoks besar. Alih-alih dipandang sebagai pusat pangan dan energi masa depan, laut masih sering dilihat sebatas arena eksploitasi. Ikan dijadikan komoditas ekspor, tetapi nelayan tetap miskin.

Tambak udang memang tumbuh pesat, tetapi di sisi lain ekologi pesisir rusak dan rentan terhadap krisis ekologis.

Dari kacamata sosiologi perikanan, kondisi ini dapat dibaca sebagai bentuk kekerasan struktural: laut menghasilkan surplus ekonomi dalam skala nasional, tetapi masyarakat pesisir yang menjadi aktor utama tetap berada di pinggir, termarjinalkan dari hasil pembangunan.

Mengubah Mindset: Dari Darat ke Laut

Perubahan mindset maritim bukanlah sekadar jargon politik yang muncul dalam pidato seremonial, melainkan sebuah pergeseran paradigma yang mendasar. Laut harus dipahami kembali sebagai sumber pangan sekaligus energi bagi bangsa.

Mengutamakan ikan sebagai protein pokok jauh lebih sehat dan berkelanjutan ketimbang mempertahankan ketergantungan pada beras yang terus dipelihara dalam imajinasi agraris.

Dari sisi geopolitik, urgensi kesadaran maritim semakin nyata. Lebih dari 40 persen perdagangan global melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Jalur ini ibarat nadi yang menghubungkan peredaran logistik dunia, tetapi tanpa mindset maritim yang kuat, Indonesia hanya akan menjadi penonton di rumah sendiri, sementara negara lain berlomba menguasai armada, teknologi, dan rantai pasok maritim.

Pada level identitas, menjadi bangsa maritim berarti membangun imajinasi kolektif yang baru. Anak-anak Indonesia tidak cukup hanya diajarkan tentang sawah, padi, dan gunung, tetapi juga harus diperkenalkan pada pelayaran, ekologi laut, serta kearifan masyarakat pesisir pada kurikulum pendidikan dasar.

Negara-negara seperti Jepang dan Norwegia telah membuktikan bahwa kesadaran maritim dapat ditanamkan sejak dini melalui pendidikan, kebudayaan, dan kebijakan publik. Indonesia pun harus berani melakukan hal yang sama, bila ingin mengembalikan laut sebagai pusat peradaban bangsa.

Rekomendasi Strategis: Jalan Menuju Bangsa Maritim

Membangun Indonesia sebagai bangsa maritim membutuhkan strategi yang lebih dari sekadar slogan.

Pertama, revolusi imajinasi pendidikan harus dilakukan dengan menempatkan laut sebagai pusat kesadaran kolektif. 

Sejarah jalur rempah, kejayaan kerajaan-kerajaan maritim, hingga Deklarasi Djuanda tidak boleh hanya tersimpan di buku sejarah, melainkan harus hadir dalam kurikulum sekolah. Dengan begitu, anak-anak tumbuh dengan imajinasi bahwa laut adalah nadi kehidupan bangsa, bukan sekadar batas geografis.

Kedua, orientasi pembangunan harus bergeser menuju ekonomi biru. Sektor kelautan mesti menjadi arus utama dalam perencanaan pembangunan nasional. Kontribusi maritim terhadap PDB tidak boleh stagnan pada angka tujuh persen, melainkan harus meningkat tajam seiring dengan pemanfaatan potensi perikanan tangkap, budidaya, hingga energi laut yang berkelanjutan.

Ketiga, semua ini tidak akan berarti bila ekologi laut terus dirusak. Tidak ada masa depan maritim tanpa laut yang sehat. Penertiban reklamasi, pertambangan yang merusak ekosistem, rehabilitasi mangrove sebagai benteng alami pesisir, serta perlindungan terumbu karang harus dipimpin negara sebagai prioritas utama.

Keempat, nelayan, pembudidaya, pengolah hasil laut serta pemasar dan masyarakat pesisir lainnya harus ditempatkan sebagai local champion dalam pembangunan maritim. Mereka bukan sekadar objek bantuan, melainkan aktor utama yang menjaga, mengelola, dan menghidupkan laut. Memberi akses modal, memperkuat koperasi, serta membangun pelabuhan rakyat modern adalah langkah konkret agar mereka benar-benar menjadi penopang peradaban bangsa.

Penutup: Menggugat Imajinasi Bangsa

Peringatan Hari Maritim Nasional ke-61 seharusnya tidak hanya dirayakan dengan seremoni dan pidato resmi, tetapi dijadikan momentum untuk menggugat imajinasi bangsa.

Selama laut masih dianggap sebagai halaman belakang, Indonesia akan terus berjalan pincang: kaya di atas kertas, miskin dalam kenyataan. Jalur Rempah Nusantara menjadi bukti historis bahwa kejayaan negeri ini tidak lahir dari sawah semata, tetapi dari laut yang menghubungkan kita dengan dunia.

Mengubah mindset dari agraris ke maritim bukanlah pengkhianatan terhadap daratan, melainkan pengakuan bahwa laut adalah pusat peradaban yang selama ini dilupakan.

Sebuah bangsa kepulauan yang menutup mata terhadap laut sama saja dengan menutup pintu masa depannya sendiri. Jepang dan Norwegia bisa menjadikan laut sebagai fondasi identitas nasional mereka, lalu mengapa Indonesia yang justru hidup di tengah samudra malah abai?

Kini, pertanyaannya bukan sekadar teknis kebijakan, melainkan keberanian politik dan imajinasi kolektif: apakah kita siap mengembalikan laut ke takhta yang layak sebagai penopang peradaban?

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi? Membiarkan laut terus terpinggirkan sama artinya dengan menyerahkan masa depan bangsa ke arus sejarah yang ditentukan orang lain.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved