Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Tragedi 298 dan Perlunya Redesain Sistem Keamanan Kolektif

Dua gedung penting—DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan—hangus dilalap api.

Editor: Sudirman
Tribun-Timur.com
OPINI - Asri Tadda Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan 

Oleh: Asri Tadda

Ketua DPW Gerakan Rakyat Sulawesi Selatan

TRIBUN-TIMUR.COM - PERISTIWA 29 Agustus 2025 akan tercatat sebagai salah satu babak paling memilukan dalam sejarah sosial-politik Makassar.

Dua gedung penting—DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan—hangus dilalap api.

Izinkan saya menyebut peristiwa ini sebagai TRAGEDI 298, akronim dari Titik Runtuhnya Aspirasi, Gedung Demokrasi yang Inflam.

Sejak lama Makassar dikenal sebagai barometer pergerakan, khususnya di Indonesia Timur. Gelombang aksi mahasiswa yang lahir dari kota ini kerap memberi resonansi ke daerah lain, bahkan ke tingkat nasional.

Namun, TRAGEDI 298 memberi catatan berbeda. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, simbol-simbol demokrasi rakyat justru musnah dalam kobaran api.

Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya bersifat materil. Lebih dalam dari itu, kita menyaksikan kerugian imateril yang jauh lebih berat.

Korban jiwa, trauma sosial, hilangnya rasa aman warga, runtuhnya kepercayaan terhadap sistem pengelolaan keamanan, hingga tercorengnya citra Makassar sebagai kota intelektual.

Sejak awal, sulit membayangkan pembakaran ini dilakukan murni oleh massa aksi. Rekam jejak pergerakan mahasiswa di Makassar selama ini tidak pernah mencatat adanya aksi yang merusak hingga membakar fasilitas publik.

Karena itu, sangat patut diduga, TRAGEDI 298 adalah hasil infiltrasi atau rekayasa pihak-pihak tertentu yang punya agenda lain dari yang disuarakan massa aksi.

Dugaan itu menguat ketika insiden serupa kemudian menjalar ke daerah lain, seakan Makassar sengaja dijadikan pemantik gejolak nasional.

Potensi Kehancuran

Hal lain yang patut direnungkan adalah, bahwa pada hari yang sama, sesungguhnya banyak objek vital lain yang sangat mudah dijadikan sasaran karena minim pengamanan.

Kampus, rumah sakit, hingga fasilitas umum lainnya berada dalam posisi rawan dan tanpa pengamanan berarti.

Untung saja tidak ikut terbakar. Bayangkan jika api juga menjilat gedung-gedung universitas atau rumah sakit—kerusakan sosial dan psikologisnya tentu akan berlipat ganda.

Kampus di Makassar misalnya, pada sore hingga malam hari relatif sepi. Hanya segelintir petugas keamanan yang berjaga, sehingga menjadi target empuk bila ada penyusup berniat jahat.

Situasi ini memberi sinyal penting bahwa perlu ada kebijakan baru.

Mahasiswa sebaiknya sudah perlu kembali diberi ruang untuk beraktivitas hingga malam hari, bukan hanya demi kepentingan akademik, tetapi juga untuk memperkuat mitigasi sosial dan kebencanaan.

Kehadiran komunitas kampus di malam hari bisa menjadi “mata dan telinga” tambahan untuk mencegah potensi kerusuhan maupun ancaman lainnya.

Sistem Keamanan Kolektif

TRAGEDI 298 menyadarkan kita bahwa keamanan tidak bisa lagi semata-mata diandalkan kepada aparat kepolisian. Kapasitas aparat terbatas, sementara skala ancaman semakin kompleks.

Sudah waktunya setiap institusi—kampus, rumah sakit, pusat layanan publik—membangun sistem keamanan dan mitigasi mandiri berbasis komunitas.

Swadaya sosial dalam menjaga keamanan bukan berarti mengambil alih peran aparat, melainkan memperkuat ketahanan kolektif.

Model ini sejalan dengan semangat community resilience yang terbukti efektif di banyak negara dalam menghadapi situasi darurat, baik bencana sosial maupun bencana alam.

Pemerintah daerah juga tidak boleh abai. TRAGEDI 298 adalah alarm keras yang menuntut evaluasi menyeluruh terhadap lemahnya antisipasi, rapuhnya koordinasi lintas sektor, dan minimnya kanal dialog yang sehat antara pemerintah, mahasiswa, serta masyarakat sipil.

Jika kelemahan-kelemahan ini dibiarkan, bukan tak mungkin api yang telah membakar gedung DPRD beberapa waktu lalu, bisa menjelma jadi api ketidakpercayaan publik yang lebih sulit dipadamkan.

Penutup

TRAGEDI 298 bukan sekadar peristiwa kebakaran. Ia adalah simbol runtuhnya kewaspadaan kolektif kita, sekaligus ujian bagi daya tahan demokrasi lokal.

Pilihannya jelas, yakni menjadikannya pelajaran berharga untuk memperkuat keamanan berbasis komunitas dan memperkokoh dialog sosial, atau membiarkannya menjadi catatan kelam yang bisa saja bakal terulang di masa depan.

Makassar, sebagai barometer pergerakan di Indonesia Timur, harus memilih jalan yang pertama.

Karena dari sinilah akan lahir kembali semangat menjaga demokrasi, bukan dengan api yang menghancurkan, tetapi dengan cahaya yang mencerahkan.

Makassar harus bangkit dari TRAGEDI 298 dengan semangat baru. Bukan untuk menebar ketakutan, melainkan untuk membangun kesadaran bahwa demokrasi membutuhkan perlindungan kolektif.

Gedung yang terbakar bisa dibangun kembali, tetapi luka sosial hanya bisa disembuhkan melalui refleksi, keterbukaan, dan komitmen bersama menjaga nilai-nilai demokrasi.

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved