Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Asratillah

Api di Gang Tallo

Busur panah, senapan angin, bahkan molotov menjadi lebih dari alat — mereka adalah lambang status dan simbol komunitas

Editor: AS Kambie
Ist
PENULIS OPINI - Asratillah, Direktur Profetik Institute. Asratillah aktif menulis opini di Tribun Timur. 

Oleh : Asratillah
Direktur Profetik Institute

Jeritan di Beroanging

Di bawah langit Makassar malam itu, pekuburan Beroanging menjadi ladang kecemasan. Suara gaduh bergema antara nisan dan gang sempit, lampu jalan berkelip redup. Ada bisik-bisik di antara kerumunan; kabar menyebar dari rumah ke rumah, dari gang ke gang, bahwa seorang pria telah tewas. Cerita bermula dari senapan angin, dari panah yang tertancap, dari dendam yang menunggu waktu.

Seperti dalam simfoni kelam, malam itu pecah. Sekelompok massa berkumpul, tergugah oleh kematian — tetapi bukan hanya kematian, melainkan kematian yang disinyalir tak wajar. Wajah-wajah muda muncul di antara bayang-bayang. Obor kecil, nyala api dari botol, sorakan, langkah kaki yang bergetar. Rumah-rumah mulai terbakar, kayu, pintu, jeruji, semua berderak dalam kobaran. Bau asap dan debu menyesak paru-paru, sementara jeritan “jangan! berhenti!” tertelan oleh gegap gempita kerusuhan.

Polisi datang, mencoba membendung amarah. Tapi massa berderap, melawan. Ada suara ledakan kecil, lemparan benda – dugaannya molotov — menyambar dinding batu, menerbitkan kobaran baru. Di tengah kekacauan itu, menjadi jelas, ini bukan sebuah tawuran biasa. Ini adalah perang kampung, perang simbol, perang identitas. Jalan-jalan kecil berubah menjadi parit pertempuran.

Saat fajar meraung pelan, hanya puing dan abu yang tinggal. Tiga hingga tujuh rumah — versi media berbeda-beda — luluh oleh api. Aroma hangus masih membayangi dinding, seolah menodai air mata mereka yang tersisa. Warga berujar dalam bahasa rendah tapi tegang, “ini tak akan selesai sampai keadilan datang.” Beberapa berdiri diam, wajah menunduk, enggan bicara. Mereka tahu, malam itu lebih dari sekadar kerusuhan; ia adalah luka yang menganga.

Para Lelaki muda, remaja, dan pemuda muncul, dengan mata lelah tapi semangat berkobar. Dalam diam, mereka menatap reruntuhan, sambil sesekali menyalakan rokok, menghirup asap dan menatap abu. Ada yang menitikkan air mata, ada yang mengeraskan suara, “ini kampung kami”. Sementara di pojok, polisi mencatat, mengambil foto, dan berjanji akan menyelidik. Tapi keraguan menggelayut, apakah ini hanya akan menjadi satu dari banyak laporan polisi yang lenyap dalam lembar administrasi?

Di balik semua api dan duka, pekuburan Beroanging pun sunyi kembali — seolah memberi istirahat sementara pada dendam yang sementara padam. Namun di benak banyak anak gang, nyala itu tidak padam; ia cuma tertahan, menunggu embusan angin berikutnya.

Wajah Lain Makassar

Untuk memahami mengapa api ini bisa menyala begitu cepat di Beroanging, kita perlu menengok wajah lain Makassar, dalam hal ini wajah sosial, demografis, dan struktural. Di mana keretakan itu tumbuh; di mana ketidakadilan diam; di mana kesenjangan menjadi bahan bakar kontagion kekerasan.

Berdasarkan Kota Makassar Dalam Angka 2025 dari BPS Kota Makassar, penduduk kota ini mencapai sekitar 1.477.861 jiwa pada tahun 2024.  Kecamatan Tallo — lokus dua kampung yang terlibat tawuran — berpenduduk 148.008 jiwa menurut data Satu Data Makassar.  Luas kecamatan Tallo hanya 5,83 km⊃2;, menjadikannya wilayah dengan kerapatan yang tinggi dan interaksi sosial intens. 

Pada ranah ekonomi, Makassar menunjukkan dinamika yang kompleks. Pertumbuhan ekonomi triwulan III tahun 2024 tercatat 2,20 persen secara kuartalan.  Secara akumulatif, hingga kuartal tersebut, laju ekonomi Makassar mencapai 5,80 persen dibandingkan periode sebelumnya.  Dari sisi produksi, sektor primer (misalnya pertanian, perikanan) tumbuh sebesar 7,49 persen, sementara dari sisi pengeluaran, konsumsi pemerintahan final naik tajam 8,82 persen. 

Namun di balik pertumbuhan ini ada wajah kemiskinan yang tak boleh diabaikan. Data Satu Data Kota Makassar menunjukkan persentase kemiskinan penduduk kota di tahun 2025 sebesar 4,97 persen.  Jumlah penduduk miskin tercatat 79.530 jiwa, dengan garis kemiskinan di angka Rp 592.753 per kapita.  Indeks kedalaman kemiskinan (seberapa jauh rata-rata pengeluaran penduduk miskin dari garis kemiskinan) adalah 0,81 persen, dan indeks keparahan kemiskinan (ketimpangan pendapat di antara orang miskin) sebesar 0,18 persen. 

Wajah sosialnya juga punya ketegangan struktural,di kota sebesar Makassar, terdapat 140 anak jalanan, 40 anak yang berhadapan dengan hukum, dan 1.176 penyandang disabilitas, menurut data Satu Data.  Fakta-fakta ini bukan sekadar angka — mereka adalah benang merah dari struktur sosial yang masih rapuh, di mana sebagian kecil warga hidup di ambang kerentanan sosial.

Interaksi sehari-hari di gang-gang Makassar, terutama di kecamatan padat, berlangsung dalam kondisi di mana pendapatan rumah tangga sangat bervariasi. Sebagian menikmati pertumbuhan ekonomi kota, sebagian lain tenggelam dalam bayang-bayang kemiskinan, persaingan ruang publik, dan keterasingan institusional. Dalam konteks ini, identitas gang (atau mungkin bisa kita sebut kampung) menjadi semacam benteng sosial, tempat di mana warga saling mengenal, dan di mana rasa solidaritas sekaligus kecemburuan bisa matang menjadi konflik.

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved