Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Purnawirawan TNI Ini Ungkap Undang-undang Melarang Polisi Duduki Jabatan Sipil, Diteken Sejak 2002

Ia pernah menjabat Sekretaris Militer Presiden RI. Ia memiliki latar belakang panjang di dunia militer sebelum terjun ke politik. 

Editor: Ansar
Tribunnews.com
PUTUSAN MK - Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin. Ia menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kembali menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil seharusnya tidak lagi menimbulkan polemik. 
Ringkasan Berita:
  • Penegasan Aturan yang Sudah Ada (Pasal 28 UU Polri)
  • Isi dan Dampak Putusan MK (Perkara No. 114/PUU-XXIII/2025)
  • Kasus yang Disoroti Pemohon
  • Prinsip yang Ditekankan

 

TRIBUN-TIMUR.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menegaskan larangan anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil.

Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin menilai, putusan MK itu seharusnya tidak lagi menimbulkan polemik.

Aturan larangan itu sudah jelas sejak lama tercantum dalam perundang-undangan.

TB Hasanuddin adalah Mayjen TNI (Purn) dan politisi senior dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). 

Ia pernah menjabat Sekretaris Militer Presiden RI.

Ia memiliki latar belakang panjang di dunia militer sebelum terjun ke politik. 

Saat ini, ia duduk sebagai Anggota Komisi I DPR RI yang membidangi pertahanan, luar negeri, komunikasi, dan intelijen.

TB Hasanuddin mengingatkan, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, khususnya Pasal 28, secara tegas melarang penempatan anggota Polri aktif pada posisi sipil.

Karena itu, menurutnya, persoalan tersebut semestinya tidak berkembang menjadi perdebatan berkepanjangan apabila pemerintah konsisten menaati regulasi yang berlaku.

“Sebetulnya tanpa putusan MK pun, kalau negara mengikuti aturan yang dibuatnya sendiri, tidak ada anggota Polri aktif yang boleh menjabat di ranah sipil. Hal ini sangat tegas diatur dalam UU Nomor 2/2002,” kata TB Hasanuddin, dalam keterangannya, Minggu (16/11/2025).

Legislator Fraksi PDIP itu menegaskan, putusan MK terbaru justru mengulang kembali norma yang sudah ada sejak awal, sehingga tidak seharusnya dianggap sebagai hal baru.

Penegasan kembali oleh MK, kata TB Hasanuddin, menunjukkan pentingnya menjalankan batasan yang telah ditetapkan bagi institusi Polri.

“Putusan MK hanya mengulang dan mempertegas apa yang sudah ada dalam UU Kepolisian. Artinya, pemerintah sejak awal wajib menaati larangan tersebut. Namun kenyataannya, pemerintah tidak menjalankan ketentuan Pasal 28 UU 2/2002,” ujarnya.

Menurutnya, pengabaian pemerintah terhadap aturan yang dibuatnya sendiri telah menimbulkan kebingungan di masyarakat dan berpotensi melemahkan prinsip profesionalisme kepolisian.

Dia mengingatkan bahwa pembatasan antara ranah sipil dan kepolisian merupakan pilar penting dalam menjaga tata kelola pemerintahan yang sehat.

“Ini soal kepatuhan terhadap hukum. Kalau undang-undang sudah tegas, ya harus dipatuhi. Putusan MK menegaskan kembali bahwa aturan itu wajib dijalankan dan tidak bisa ditafsirkan secara bebas,” tandasnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa Kapolri tidak lagi bisa menugaskan polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil di luar institusi kepolisian, kecuali mereka sudah mengundurkan diri atau pensiun.

Putusan ini diambil dalam sidang perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang menguji Pasal 28 Ayat (3) dan penjelasannya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Permohonan ini diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite.

Mereka menyoroti praktik penempatan polisi aktif di jabatan sipil seperti Ketua KPK, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT, tanpa proses pengunduran diri atau pensiun.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Utama, MK, Jakarta Pusat, Kamis (13/11/2025).

Hakim konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri sama sekali tidak memperjelas norma Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002.

“Hal itu mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan terhadap norma dimaksud,” kata Ridwan.

Perumusan yang demikian berakibat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian bagi anggota Polri yang dapat menduduki jabatan di luar kepolisian.

Sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier ASN yang berada di luar institusi kepolisian.

Hal demikian menurut pemohon sejatinya bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional para pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
 
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved