Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tambang Raja Ampat

Siapa Sebenarnya Bos Tambang Raja Ampat? Beroperasi Lagi Usai Dihentikan Prabowo, Eks Menteri Resah

Pencabutan izin tambang di Raja Ampat disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.

Editor: Ansar
Tribunnews.com
AKTIVITAS PERTAMBANGAN - Aktivitas pertambangan PT Gag Nikel. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menghentikan sementara kegiatan operasi PT Gag Nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat. (PT Gag Nikel) 

sedimentasi (pengendapan lumpur akibat limbah tambang (tailing) yang dibuang ke laut (Submarine Tailings Disposal/STD, sehingga menutupi dasar laut dan mematikan biota;
erosi; pencemaran air laut; deforestasi; kerusakan habitat satwa; hilangnya vegetasi alami.

Kerusakan ini akan sulit dipulihkan karena sifat irreversible (tidak dapat dibalikkan) pada ekosistem sensitif pulau kecil, sekaligus bersifat "butterfly effect", di mana kerusakan kecil bisa memicu kehancuran berskala besar, termasuk pada arus laut.

4 perusahaan dicabut izinnya

Menteri Bahlil mengatakan ada empat perusahaan IUP-nya dicabut.

Sedangkan, satu perusahaan yang tidak dicabut IUP-nya, yakni PT GAG Nikel. 

Keempat perusahaan yang dicabut izinnya adalah:

1. PT Anugerah Surya Pratama

2. PT Nurham

3. PT Mulia Raymond Perkasa

4. PT Kawei Sejahtera Mining

Bahlil mengungkapkan alasan pemerintah mencabut IUP empat perusahaan itu. Salah satunya, karena ditemukan pelanggaran. 

Sebanyak 900 pekerja PT Gag Nikel di Raja Ampat, kehilangan mata pencaharian setelah tambang nikel dihentikan sementara pada Kamis (5/6/2025). 

Penghentian ini dilakukan karena desakan publik dan kekhawatiran atas kerusakan alam di kawasan wisata eksotis tersebut. 

Langkah itu memunculkan harapan perlindungan lingkungan, namun juga menyisakan luka ekonomi yang dalam bagi masyarakat lokal yang bergantung hidup dari tambang.

Bagaimana mereka bertahan saat harapan kerja pupus demi menyelamatkan alam yang kian merintih?

Keputusan penghentian sementara aktivitas pertambangan di PT Gag Nikel oleh Kementerian ESDM mengguncang sendi kehidupan 900 pekerja tambang.

Mereka kini terpaksa menganggur, kehilangan nafkah, dan menghadapi ketidakpastian di tengah dilema antara kelestarian alam dan kebutuhan ekonomi.

“Kami hentikan aktivitas tambang untuk sementara waktu karena mengikuti arahan dari Menteri ESDM Bapak Bahlil Lahadalia,” ujar Ahmad Hasan, Pegawai Quality Control PT Gag Nikel, di Pulau Gag, Raja Ampat, Kamis (5/6/2025).

Penghentian ini menyasar lokasi Front Qatar—salah satu wilayah operasional utama tambang nikel PT Gag Nikel.

Meskipun aktivitas tambang terhenti, Ahmad menyatakan pemantauan rutin tetap dilakukan guna menjaga kondisi area tambang.

Namun di balik keputusan itu, muncul gelombang keresahan dari warga Kampung Gag. Waju Husein, perwakilan masyarakat kampung, menyuarakan kesedihan mereka.

“Kami sangat bersyukur dengan adanya PT Gag Nikel karena membuka lapangan pekerjaan dan memberikan penghasilan tetap bagi warga di sini,” ujarnya.

“Tapi sekarang, masyarakat kehilangan mata pencaharian utama. Kami berharap pemerintah pusat segera membuka kembali aktivitas tambang, agar kami bisa kembali bekerja dan mencukupi kebutuhan hidup,” tambahnya dengan nada cemas.

Sementara itu, dari Jayapura hingga Manuran, gelombang protes terus bergulir. Mahasiswa dan aktivis lingkungan mengecam keberadaan tambang yang dianggap merusak pulau-pulau kecil dan ekosistem laut Raja Ampat.

“Menurut saya itu hanya pencitraan. Kenapa Gubernur dan Menteri tidak mengunjungi pulau-pulau yang telah dirusak?” kritik tajam Jansen Previdea Kareth dari Aliansi Pemuda dan Masyarakat Papua Peduli Demokrasi.

Jansen membeberkan bahwa lebih dari 500 hektare hutan telah dibabat. Ia juga menuding video penyambutan Menteri ESDM di Pulau Gag hanyalah “rekayasa” untuk menciptakan kesan dukungan terhadap tambang.

Bukan hanya mahasiswa, aktivis Katolik dari Universitas Cenderawasih juga menyuarakan penolakan dalam aksi damai.

“Pendekatan ekstraktif ini mirip ekonomi kolonial gaya baru: sumber daya dikeruk, masyarakat ditinggalkan, dan lingkungan rusak,” tegas Anthonius Semeya Turot, Ketua UKM-KMK Santo Alexander.

Mereka menyebut proyek nikel di Papua sebagai “paradoks energi hijau”, karena klaim keberlanjutan ternyata merusak ekologi dan budaya lokal.

(Tribun-timur.com/Tribunnews.com/TribunPapua.com)

Sebagian artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved